Apa aku sudah kehilangan akal sehatku?
Apa yang terjadi padaku?
Apa aku sedang bermimpi?
Adalah empat pertanyaan yang selalu kuajukan kepada diriku sendiri ketika hidupku sedang dalam roller coaster emosi yang tidak tertahankan. Adakah orang lain yang melakukan hal seperti ini? Mempertanyakan arti hidupnya sendiri? Atau hanya aku saja?
______________________________
"Wait." Eleatha Bernadett Zheverry menyambar tasnya dan juga mantelnya, dan tanpa berpikir panjang berlari menuju pintu depan apartemennya. Ia menekan kata sandi rumahnya dan menutupnya di belakang tubuhnya, ketika seorang pria berpakaian rapi—lengkap dengan jas dan dasinya—menyambutnya dengan pelukan hangat. "Hei, maaf aku harus mengurus banyak hal sebelum pergi denganmu."
"It's okay," balas pria yang memiliki dua mata berwarna biru samudera itu sambil mengulurkan tangannya dan mulai berjalan ke basement apartemen Eleatha. "Aku sudah membelikan beberapa parsel untuk orang tuamu." Pria itu membuka mobilnya dan menunggu Eleatha untuk masuk ke dalam mobil sebelum ia berjalan menuju kursi pengemudinya. "Here," Pria itu mengambil salah satu bingkisan dan memberikannya pada Eleatha yang sedang memasang seat beltnya, "this one is for you."
Eleatha menerima bingkisan tersebut dengan senyuman yang ia paksakan. "Layton, there's something you need to know." Ia perlahan membuka bingkisan tersebut dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil. "Kau tahu bahwa aku tidak pernah hidup bersama dengan kedua orang tuaku." Ia membuka kotak merah tersebut dan menemukan sebuah kalung dengan bentuk hati yang begitu berkilau. "Cause I never have one." Ia mengusap lembut kalung tersebut dan kini menatap ke arah mata biru Layton, kekasihnya yang sama sekali belum mengenal dirinya; yang hendak menikahinya dalam waktu dekat. "Kau bertanya kepadaku, apakah aku ingin menikah denganmu. Sure, I'd love to. A father figure is all that I have, tapi hari ini kau tidak akan bertemu dengan orang tua kandungku. Is that fine with you?"
Layton Gweth Parskel menatap Eleatha tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia terdiam begitu menyadari apa yang wanita itu coba katakan kepadanya. Dan satu-satunya pikiran yang berada di dalam benaknya kali ini adalah, "Do I still want her as my wife?"
Layton Parskel menahan napasnya sendiri selagi pikirannya berkeliaran dan wanita di hadapannya memandanginya setengah menangis. Air mata wanita itu berkumpul di pelupuk matanya. "Is she even real?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Layton..."
Baru saja Eleatha hendak kembali berbicara, Layton memotong ucapan wanita itu dengan mengambil kotak merah yang masih berada di tangan Eleatha. Ia mengeluarkan kalung berlian tersebut dan mengalungkannya pada leher Eleatha.
Layton lalu mengambil tangan Eleatha dan mencium punggung tangan wanita itu. "Let us meet your father, Elle."
______________________________
Seorang pria berusia enam puluh delapan tahun membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Ketika pintu rumah itu terbuka sepenuhnya, Layton dapat melihat kondisi menyedihkan yang dimiliki oleh papa dari wanita yang ia cintai. Pria itu duduk di atas kursi roda dan terlihat sangat kurus. Tatapannya sayu dan terkadang terlihat kosong. Pakaiannya cukup lusuh jika dibandingkan dengan pakaian yang ia kenakan.
Eleatha menarik tangan Layton dan dengan gestur tubuhnya mempersilakan pria itu untuk masuk, akan tetapi Layton menatap papa Eleatha dengan tatapan kasihan yang menjijikkan. Lalu pada detik berikutnya, Layton melayangkan tatapannya pada rumah yang ditinggali pria tua itu. Sangat kecil, bila dibandingkan dengan rumahnya atau apartemen Eleatha. Sangat kumuh, hampir seperti tempat tinggal orang yang bekerja sebagai seorang janitor. Begitu gelap, untuk dapat dikatakan sebagai rumah.
"Pa," ujar Eleatha yang kini mengambil posisi untuk berdiri berhadapan dengan papanya. "Bagaimana kabarmu? I'm home now." Eleatha menunjuk kepada pria yang ia bawa dan kembali berujar, "This is Layton Parskel. He's here for me. He wants to asking your permisson to marry me—in person."
Layton yang berdiri dengan membawa parsel-parsel yang telah ia persiapkan, sama sekali tidak bergerak ketika papa Eleatha berusaha untuk bangkit berdiri sebagai bentuk pria itu menghormatinya. Well, kurasa aku tahu siapa yang tidak menghormati siapa, bisik Layton dalam hatinya.
Ketika papa Eleatha sudah sepenuhnya berdiri dengan kedua kakinya, pria itu mengulurkan tangannya dan berujar dengan lembut, "R-r-aymond Zh-zhe-verry." Dan tergagap.
Layton menahan napasnya sendiri, menghitung dalam hati angka satu sampai tiga belas. Setelah itu baru ia memutuskan untuk menggapai uluran tangan Raymond Zheverry. "Layton..." Kalimatnya terputus begitu saja ketika ia hendak memperkenalkan dirinya sendiri. Matanya kembali terarah pada ruangan di belakang Raymond.
"Apa kau tidak akan masuk?" tanya Eleatha dengan nada yang lembut dan setengah berbisik. "Aku tahu kau sangat suka kopi, jadi aku memberitahu papa dan papa sudah membelikan kopi terenak untukmu." Eleatha berlari menuju dapurnya ketika ia melihat Raymond dan Layton telah duduk berhadap-hadapan. "I'll be back with your coffee," serunya dari dapur.
Layton dan Raymond, dua pria kaku yang saling menatap tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun. Yang satu disebabkan oleh penyakit afasia yang dideritanya, yaitu di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan berkomunikasi akibat adanya kerusakan di otak. Yang satu lagi disebabkan oleh penyakit mutisme selektif, yaitu di mana seseorang mengalami gangguan berkomunikasi yang disebabkan oleh faktor psikologis yang sedang ia alami saat ini—yaitu dirinya yang merasa tidak nyaman berada di sekitar pria yang terlihat menyedihkan itu.
Eleatha melongokkan kepalanya dari pintu dapur ketika ia tidak mendengarkan suara dari ruang tamu. Ia mempercepat pekerjaannya di dapur dan dengan cepat kembali ke ruang tamu untuk mencairkan ketegangan yang terjadi di sana.
"So, apa yang ingin kau tanyakan padaku atau papaku?" Eleatha meletakkan secangkir kopi buatannya di hadapan Layton dan secangkir teh madu di hadapan Raymond. "About me? About him? About this family?"
Layton berdeham kecil dan mengambil kopi di hadapannya untuk membasahi kerongkongannya. "Your mom?"
"Oh, she died when I was four." Eleatha mengeluarkan foto keluarganya dari dalam lemari dan memberikannya pada Layton. "Dia adalah seorang penari yang hebat. Juga gemar menyanyi. She died with heart attack."
"S-siapa ini?"
"Oh, ini kakakku. Namanya Abigael."
"She's your step sister?" Eleatha menerima pertanyaan tersebut dengan baik dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Rumah ini adalah rumah masa kecilku. Sekarang papa yang menempatinya. Setiap hari aku akan datang untuk mengurusnya dan membersihkan rumah ini. Setiap pukul empat sore."
Layton kembali meneguk kopinya selagi ia mencerna semua cerita yang disodorkan kepadanya. "Siapa yang akan mengurusnya jika kau tidak bersama dengannya?"
"Aku menyewa pengasuh untuk papa."
"A-ar-are you go-going t-to mar-ry my da-daughter?" Raymond yang sedari tadi hanya berdiam diri untuk menyimak, kini mengangkat suaranya. "Mi pequeña princesa, a-apa k-kau su-sud-sudah mem-mem-mikirkan-kannya?" Suara Raymond tergagap dan bicaranya sangat lamban, akan tetapi nada bicaranya sangat halus dan penuh kasih sayang.
Eleatha menepuk punggung tangan Raymond dan kembali berbicara kepada Layton. "As I said, Layton, aku hanya memiliki papaku ini di dalam hidupku. Abigael tidak pernah datang ke dalam hidup kami, dan kami tidak pernah menghubunginya."
"Apa kau tahu apa yang kupikirkan semenjak aku melihat papamu dan ketika aku masuk ke dalam rumah ini?" Eleatha menggelengkan kepalanya dan pria itu kembali berkata. "You're so pitiful to live in a house like this. Kemudian aku melihat dirimu menguasai rumah ini, dan bagaimana kau merawat papamu. Dan, ya, aku melihat keluarga kecil ini begitu memilukan. My penthouse is just too big, compared to this one." Layton bisa melihat Eleatha tengah menyipitkan matanya ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya, maka ia melanjutkan, "Tapi aku tahu kondisi ekonomi seseorang bisa berbeda-beda. Your dad and my dad, pasti sangat berbeda. Dan aku menyadari bahwa aku terlalu beruntung untuk bisa hidup di dalam keluargaku. Tapi aku juga memikirkan dirimu..."
"Aku tidak butuh rasa kasihanmu, Layton."
"Tunggu, aku tidak mengasihanimu. Aku memiliki satu pemikiran yang besar tentangmu, keluargamu. I wanna be the part of this family, and I want you to be very happy di tengah-tengah keluargaku." Layton menunggu jawaban ataupun sanggahan dari Eleatha, tetapi wanita itu hanya terdiam. "Mr. Zheverry, kau bisa tinggal bersama dengan kami, jika memang kau tidak keberatan." Layton berdiri dan berlutut di hadapan Eleatha dan juga Raymond. Matanya tertuju pada keadaan kamar tidur yang setengah terbuka di belakang Eleatha. "You can have the main bedroom as yours, Mr. Zheverry."
Eleatha mengerutkan keningnya dan berbicara dengan spontan, "Aku hanya mendengarkan dirimu yang sedang mengasihaniku sedari tadi. Apa kau sungguh-sungguh tinggal di dalam istana, Parskel? Apa menurutmu nama 'Eleatha Parskel' cukup indah di telingamu dan itu sangat cukup untuk menghina keadaan rumahku dan keluargaku?"
"Elle..."
"Aku sudah mengatakannya sekali, dan kau tahu bahwa aku benci untuk mengulangi perkataanku. But I'll repeat my words to you once again, dan aku pastikan aku sangat serius ketika mengatakannya padamu." Eleatha melepaskan cincin di jari telunjuknya dan memberikannya pada Layton yang masih berlutut di hadapannya. "It's a nightmare to see you here, Mr. Parskel. Aku tidak membutuhkanmu untuk mengasihaniku dan keluargaku. Thank you for having me in your life, for the last two years..."
"Jadi kau ingin aku melepaskanmu? Kau ingin melepaskanku?"
"Ya," jawab Eleatha dengan ragu-ragu. "Aku tidak memerlukan seseorang untuk merubah kondisi keluargaku karena diriku menyedihkan. Aku cukup dengan keluargaku dan..."
"Marry me, Eleatha Bernadett Zheverry." Layton kini mengeluarkan cincin baru yang telah ia persiapkan untuk Eleatha dan menarik jari-jari lentik Eleatha; tanpa memberikan celah bagi wanita itu untuk menolak, ia menyelipkan cincin tersebut. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku. I'm too selfish to let you go. Menikahlah denganku."
______________________________
The end of June,
two weeks before the wedding
"Dua kali dalam satu hari." Eleatha membuka rancangan pernikahannya di buku merah marun yang selalu ia bawa kemana-mana. "Aku ingin melakukan dating show. Well, you know—a show that shows love to people. Aku memiliki banyak teman..." Eleatha mengambil penanya dan mulai menuliskan agenda baru di dalam acara pernikahannya. "Ya, kita akan memisahkan mereka menjadi empat kelompok. Religion—I believe we need doing that one. Age—karena teman-teman kami memiliki jenjang usia yang sangat berbeda..." Eleatha kini mengambil rencana daftar tamunya dan membukanya dari bagian yang paling belakang, di mana hanya nama-nama temannya dan teman Layton yang tertera. "We also have our priority. Namanya Caspera Delington." Eleatha melingkari nama itu dan beralih ke halaman berikutnya, "Dan Briggevetta Ablivizza."
Layton Parskel membuka pintu ruangannya dengan kakinya, karena kedua tangannya penuh dengan makanan ringan yang sengaja ia bawakan untuk calon istrinya. "Elle," ujarnya ketika ia masuk ke dalam ruangan, tidak sadar bahwa wanita itu sedang berbicara dengan wedding organizer mereka.
Eleatha mengangkat tangan kanannya sebagai tanda bahwa dirinya meminta lelaki itu untuk diam. "Ya, ya," lanjutnya pada sambungan teleponnya. "Aku suka ide itu. Kategori berikutnya, mungkin pekerjaan? Let's make 'fun' to be the last category. Lalu untuk after party..." Eleatha membuka laci meja Layton dan mulai mencari surat kesepakatannya dengan wedding organizer mereka, "Aku dan Layton, kami tidak menginginkan ada alkohol di dalamnya. Sesuai dengan perjanjian kita, tea, coffee, milk based, that's gonna be it." Eleatha mengerutkan dahinya mendengarkan jawaban dari Gianna sebagai wedding organizernya, katanya, "Fun? Aku yakin sebuah kesenangan tidak hanya hadir dari alkohol, Gianna. Biarkan saja seperti kesepakatan awal kita."
"What about the dresscode?" Layton menarik lengan Eleatha sehingga wanita itu mendengarkannya.
"Black and white."
"The boys gonna be in white?"
"Sure," jawab Eleatha yang menutup teleponnya dengan tangannya sehingga suara yang di dengar Gianna hanya samar-samar. "Well, Gianna, bagaimana dengan dekorasinya? Apakah mobilnya bisa lebih bagus lagi?"
Eleatha menghabiskan waktu hampir dua jam untuk membicarakan acara pernikahannya, sedangkan Layton mendengarkan pembicaraan tersebut sambil bekerja di sofa ruangannya. Ia lalu mengangkat kepalanya ketika ia melihat kakak tertuanya, Benjamin Parskel yang berjalan masuk ke dalam kantornya dengan diikuti Abigael Parskel dan kedua anak mereka, Evelyn dan Cleovity Parskel.
Layton membelalakkan matanya dan berjalan menuju pintunya. Ia membukanya cepat-cepat dan menghadang kakaknya itu. "Benjamin," ujarnya menyapa pria berusia empat puluh dua tahun itu. "Mengapa tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau kau akan pulang secepat ini?" Maksudnya, agar Eleatha tidak perlu bertemu dengan kakaknya yang melarikan diri dari rumah beberapa tahun yang lalu. "I can pick you up at the airport." Dan membawa mereka berempat menjauhi Eleatha.
"Layton, lama tidak berjumpa denganmu," Abigael Parskel mengulurkan tangannya. Mantan kekasih Layton. "Kami dengar kau sedang sibuk mengurus pernikahanmu. Your brother insisted to come three weeks before your wedding, jadi kita bisa menyambut calon istrimu dengan lebih benar. Akan tetapi seminggu kemarin Benjamin sangat sibuk dan kami belum bisa meliburkan Eve atau pun Cleo."
"It's a surprise," ujar Cleo yang berusia lima setengah tahun itu dengan girang.
"Jadi, kami baru bisa kemari minggu ini. Hope you don't mind," lanjut Abigael Parskel yang kini berjalan melewati Layton dan menatap lurus kepada wanita yang berusia lima tahun lebih muda darinya. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu berdiri dengan kaku dan terlihat menahan kemarahannya sendiri. "Ezy," lirih Abigael yang menatap adiknya itu dengan mata berair.
"You knew her?" tanya Eleatha dengan penuh penghakiman kepada Layton.
Layton berjalan mendekatinya, berusaha untuk menjelaskan semuanya. "Elle, aku..." tapi pria itu tidak memiliki penjelasan yang tepat. Ia tahu ia memiliki begitu banyak kesempatan untuk menceritakan dimana Abigael berada. Satu tahun semenjak pertemuan pertama Layton dengan Raymond Zheverry, dan pria itu tetap menutup mulutnya.
"...Ezy, aku menikahi kakak Layton bertahun-tahun yang lalu..."
Papa, aku menemukannya.
"...everything just happened too fast..."
Papa, aku menemukan Abigael 'kita'.
"...aku ingin mengundangmu..."
Papa, apa kau ingin menemuinya sekarang?
"...bagaimana keadaan papa sekarang? Aku sangat merindukannya..."
Papa, apa kau akan membagi cintamu lagi?
______________________________
Five days,
before the wedding
Layton Parskel membanting pintu di belakangnya ketika ia melihat wanita yang ia cintai sedang duduk bersama dengan pria tua berusia enam puluh delapan tahun yang sedang menikmati makan malamnya dengan disuapi oleh wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu. "What the hell did you do, Zheverry?"
Eleatha Bernadett Zheverry mengerutkan dahinya memandangi pria tidak masuk akal yang tiba-tiba memasuki rumahnya tanpa sopan santun. Pria itu seenaknya meluapkan emosi dengan nada yang sangat tinggi dan penuh dengan bentakan. "Why the hell are you here?"
Layton Gweth Parskel yang memiliki tinggi 180 cm itu memandang rendah Eleatha yang terlihat jauh lebih pendek darinya. Ia mencengkeram tangan Eleatha yang sekarang sedang menantang amarahnya. "Aku akan bertanya sekali lagi, Elle. What did you do?"
"Let go of my hand, Parskel." Eleatha mengebaskan tangannya sekeras mungkin akan tetapi pria itu tidak melepaskannya. Namun bagaimanapun, Layton tidak menyakitinya sama sekali. "Apa kau tidak mendengarkanku? Lepaskan aku. Kau tidak berhak meluapkan emosimu seperti ini, Parskel."
"No?" tanya Layton dengan sinis. "I got called from our wedding organizer. Mereka memberitahuku bahwa kau membatalkan pernikahan kita." Layton menarik tangan Eleatha yang kini membuat wanita itu semakin mendekat padanya. "Mengapa kau melakukan itu? Apa aku menyakitimu? Atau kau sedang kehilangan akalmu?"
Eleatha memicingkan matanya dan menatap Layton dengan penuh penghakiman. "The heck? Aku tidak sedang kehilangan akalku, Layton Gweth Parskel. Ya, kau memang menyakitiku."
"Kapan?"
"Kau melupakannya?"
"Kau tidak memiliki alasan apapun untuk menyakitiku seperti ini, Elle."
"Oh, I do lots of reasons, Babe." Eleatha kembali mengebaskan tangannya dan kali ini Layton melonggarkan cengkeramannya. "Pertama," Eleatha mengangkat jari di tangannya yang terbebas dan mulai menghitung alasannya, "apa kau ingat bagaimana kau datang ke rumah ini? Kau bersikap seperti orang yang menderita mutisme selektif--kau kehilangan kemampuanmu untuk berbicara karena keluargaku begitu menjijikkan di matamu. Kau juga mengatakan bahwa rumahku begitu menyedihkan dan papaku begitu memilukan. Kedua," Eleatha mengatur napasnya sebelum ia melanjutkan, "you did ask me who's the girl in my family photo. Dan ketika aku menanyakan alasanmu, kau menjawab hanya penasaran. Lalu dua bulan kemudian, wanita itu--Abigael Zheverry--kakakku yang menghilang bertahun-tahun lalu berjalan ke arahku dengan tatapan sedihnya. She married to your big brother years ago, dan kau menutup mulutmu selama dua bulan lamanya seolah kenyataan bahwa Abigael adalah istri kakakmu tidak penting bagiku."
"Elle..."
"Ketiga, ternyata kau pernah menjalin asmara dengannya dan kau bersikap seolah diriku tidak akan peduli akan hal itu. Kau bahkan tidak berniat untuk meminta maaf padaku." Kemudian Eleatha menaikkan jari manisnya. "Keempat, apa kau tidak sadar bahwa dua hari yang lalu kau membujukku--tidak, kau memaksaku untuk memasukkan papaku ke nursing house milik keluargamu? Aku tahu kau adalah orang yang lahir di keluarga yang sangat kaya, tapi..."
"When did I tell you that? Elle, keluargaku bahkan tidak memiliki nursing house."
______________________________
Early August,
a week before the wedding
Layton menangkap tubuh Eleatha dengan kedua lengan kekarnya dan mengecup dahi wanita itu. "I need to discuss something with you."
"Aku akan terbang ke New Zealand malam ini. Aku akan menjemput papaku dan kembali dua hari lagi."
"Sure. Mari kita bicarakan hal ini terlebih dahulu," bujuk Layton yang kembali mengecup dahi Eleatha.
"Okay, five minutes, atau aku akan terlambat untuk menghadiri rapat siang ini."
"About your dad," ujar Layton begitu Eleatha sudah duduk manis di hadapannya.
"What about him?"
Ia memainkan penanya dan mengetuk-ketukkannya ke meja sebelum dengan ragu berkata, "Aku ingin menempatkannya di salah satu nursing house milik keluargaku di New York."
Eleatha menegakkan tubuhnya dan dengan tegas ia menghardik keinginan Layton. "Not on my watch."
"Kau tetap bisa melihatnya, kau bahkan bisa merawatnya. Raymond Zheverry akan mendapatkan kemewahan terbaik di sisa hidupnya."
"You really think so?" Layton menganggukkan kepalanya menanggapi jawaban Eleatha. "Bertahun-tahun lamanya ia hidup jauh dari kedua putrinya, lalu kau kini ingin mengirimnya di salah satu nursing house milik keluargamu? You just proposing the best hell to him. I'm out."
"What do you mean you're out?"
"Papaku adalah satu-satunya sosok yang membuatku bisa menghargai kehidupan ini. He gave me lessons about living in God's way. Living in the right pattern. Hanya papaku yang membuatku hidup, mengerti apa artinya kehidupan ini di hadapan Tuhan, karena mamaku telah meninggal pada saat usiaku sangat muda. Dan kini kau ingin mengirimnya ke neraka keluargamu?"
"Mungkin terasa seperti surga, suatu saat nanti."
"Kau pasti kehilangan akalmu, kan?"
Eleatha tanpa berpikir panjang, ia mengambil keputusan impulsif. Ia bangkit berdiri dan meraup wajahnya sendiri sebelum mencari ponselnya, yang entah ia letakkan dimana. Ketika ia menemukannya, Eleatha dengan cepat menekan nomor telepon Gianna--koordinator untuk acara pernikahannya, dan tanpa berbasa-basi ia mengucapkan kalimat itu. "Gianna, I want to call off the wedding."
"Hah? Mengapa?" tanya suara Gianna yang terlihat sangat bingung ketika melirik jam dindingnya. "Apa kau serius? Tujuh hari lagi kau akan menikah, apa alasanmu membatalkan pernikahanmu?"
"Aku punya banyak alasan..."
"Apa kau tahu jam berapa ini, Mrs. Parskel?"
"Namaku Eleatha Zheverry. Stop calling me Mrs. Parskel from now on. The wedding is off from the schedule."
______________________________
New Zealand,
five days before the wedding
"Elle, keluargaku bahkan tidak memiliki nursing house." Bukan hanya Layton yang kebingungan dengan arah pembicaraan mereka; Eleatha juga merasakan hal yang sama. "Apa kau bermimpi lagi?"
Apakah aku sedang bermimpi lagi? tanya Eleatha pada dirinya sendiri. Apakah aku sedang menjalani ketidaknyataan di dalam relasiku dengan Layton?
Eleatha memegangi kepalanya yang kini terasa berputar. Ketakutannya akan kehilangan keluarganya terus menerus menghantuinya. Eleanor Parskel, mama Eleatha pergi meninggalkannya ketika ia masih sangat muda. Lalu kenyataan ia akan menikah dalam waktu dekat...
"Aku tidak bisa," gumamnya dengan penuh ketakutan. Pupilnya menegas ketika menatap mata Layton yang berwarna biru terang seperti samudera. "Aku..."
"Elle, hei." Amarah Layton kini tergantikan oleh belas kasihan. Ia menaruh lengannya pada tubuh Eleatha; mendekapnya dengan kelembutan. "It's okay. Everything is going to be okay, Elle. Kekhawatiranmu tidak akan terjadi. Your papa will live in our house, very soon."
Eleatha menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak, tidak. Siapakah yang bisa aku percayai? Kau mengatakannya..."
"You live in a dream, Elle."
"No. You lied, right?"
Layton yang kini menggelengkan kepalanya dengan sepenuh hati. "Aku tidak sedang berbohong kepadamu, Eleatha Bernadett Parskel." Ia memeluk Eleatha dengan lebih erat. "I'm right here. Aku berada di sisimu, sekarang, besok, sepuluh tahun lagi, dan sampai maut memisahkan kita." Ia melayangkan satu kecupan panjang di pipi kanan Eleatha. "Marry me, Elle," ujarnya satu kali lagi, menunjukkan ketulusan hatinya.
Layton Parskel adalah orang yang tidak pernah memohon seumur hidupnya. Ia selalu marah dengan hal yang terjadi dalam kehidupannya, akan tetapi kini ia memohon wanita itu untuk tinggal dan tetap menikahinya.
Tapi wanita itu tidak pernah siap untuk melangkah pergi. Katanya, "What if I lose my papa when I choose you for tomorrow?" Sekali lagi ketakutannya berbicara. "Aku tidak akan pernah bisa hidup tanpa papaku, walau aku bersama dengan dirimu sepuluh tahun lagi." Eleatha Bernadett Zheverry tidak pernah membayangkan melepaskan nama papanya dan menggantinya dengan nama pria lain. "Bagaimana jika aku kehilangan dirinya?" Eleatha meneruskan tangisannya di dalam pelukan Layton. Untuk kali terakhir ia mendongak dan menatap mata biru yang sangat indah itu dan dengan jelas ia berkata, "I'd rather lose you than losing my papa. He's my life."
______________________________
Adakah orang lain yang melakukan hal seperti ini? Mempertanyakan arti hidupnya sendiri? Atau hanya aku saja? Karena hidupku seakan bercampur antara hidup dalam kenyataan dengan hidup di dalam mimpi-mimpiku.
Aku seperti orang bodoh yang lupa caranya menginjak tanah dan mengambil imajinasiku sebagai sebuah kenyataan. Dan ketika aku menyadarinya, aku masih bisa kembali. Akan tetapi ketakutanku membuatku mengambil keputusan yang menyamankan hatiku. Dan ketika aku ingin mengambil keputusan lainnya, aku sudah terlambat.
Aku dan papaku, kurasa kami adalah dua orang yang ditakdirkan menjadi sepasang papa dan anak, hidup bersama sampai kami menua tanpa ada yang mengganggu hidup kami. Bahkan Abigael pun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar