Kau boleh jadi orang yang salah. Tapi untuk waktu yang telah berlalu, aku berterima kasih. Terima kasih kepada hari yang pernah kau berikan. Terima kasih kepada hari yang pernah kau lukis pelangi untuk membuatku merasa sempurna. Merasakan betapa jauhnya aku dari sebuah kebahagiaan yang utuh hingga kau celikkan aku. Terima kasih hari itu pernah ada.
∞
Senja di langit Surakarta. Rabu, 20 September 2017.
Langit yang seolah tertawa sungguh melampaui ekspetasiku. Jika langit memang bahagia, mengapa aku dan kekasihku harus basah kuyub seperti ini? Ya, sepulangku sekolah, aku dan kekasihku memutuskan untuk menghabiskan sore kami bersama. Awalnya kami merencanakan siang bersama dengan harapan begitu gerbang sekolah dibuka kami langsung meluncur ke tempat yang ingin kami tuju. Hanya saja hujan badai melanda, membuat banyak waktu terbuang sia-sia.
Namun bagaimanapun juga, disinilah kami. Duduk berdua pada tempat suci—sebuah taman doa—yang sudah menjadi kebiasaan kami. ‘Tak ada kicauan para burung, ‘tak terdengar gerutu para binatang lainnya. ‘Tak ada juga kupu-kupu lucu yang hinggap pada bunga mekar yang indah. Jujur, ini adalah senja pertamaku bersama dengan orang yang tepat. Bersama dengan sang kekasih. Langit oranye menaungi kami diatas hijau pepohonan yang rindang. Saat-saat bahagia yang pernah kurasakan. Untuk melupakannya, aku membutuhkan waktu.
“Sayang aku ‘tak memiliki kesempatan untuk mengenalkanmu kepada mamaku,” ujar Aria, kekasihku.
“Ya, sayang sekali,” desahku.
Memang aku merindukan saat-saat itu. Saat dimana aku bisa mengenal keluarganya, mengenal kedua orang tuanya, merasakan diterima pada keluarga yang ingin kujadikan sebagai pasangan hidup. Hanya saja waktu yang tidak mengizinkan dan aku begitu menyesal hadir selepas kepergian orang yang paling Aria sayangi.
“Kau tahu tidak? Aku sangat senang melihat kereta yang pulang-pergi dihadapanku,” katanya penuh dengan senyuman. Aku memperhatikan ketika ia menambahkan, “Mama sangat senang menemaniku menunggu portal kereta api turun. Dan sebelum aku sempat melihatnya, mama ‘tak akan membawaku pulang.”
“Kau pasti bangga memilikinya sebagai seorang ibu. Sayang sekali aku tidak sempat bertemu,” jawabku.
Aria membawa wajahku untuk menatapnya. Raut kesedihan mungkin saja tergantung disana, namun yang ia pedulikan adalah senyuman yang begitu kupaksakan. Aria menceritakan beberapa hal menarik yang biasa ia lalui bersama mamanya sewaktu ia masil kecil. Satu persatu membawaku pada rintikan air mata manja yang mengalir tanpa kusadari.
“Kekurangan kalium. Diabetes. Semua adalah penyebab aku kehilangan mamaku untuk selamanya,” lanjutnya.
“Aku tidak bisa membayangkan betapa kuatnya dirimu saat itu. Jika itu aku, pastilah aku tidak akan berhenti menangis.”
“Iya, aku justru bahagia mendapatkan uang sumbangan dari orang-orang yang datang untuk melayat.”
“Bodoh!” ujarku sambil memukul dahinya keras-keras. “Mengapa aku bisa memiliki kekasih yang bodoh sepertimu?”
Ia tersenyum. Mengajariku menjadi kuat.
“Selagi kau bisa, gunakan waktu yang ada untuk melihat mamamu tersenyum. Karena disaat semua direnggut darimu, ‘takkan ada lagi yang bisa kau lakukan selain menangis memohonnya untuk kembali. Selagi waktumu cukup, kusarankan untuk ‘tak melukai hatinya.”
Aku melihat senyuman pada wajahnya. Mengingat mamanya menjadi hal termanis dalam kenangannya. Sedangkan aku mendengarkan kisahnya dalam air mata haru.
“Kau suka balon?” tanyanya memecah lamunanku. Aku menggeleng. Balon bukanlah kebiasaanku pada masa kecilku. Jadi aku yakin aku ‘tak menyukainya.
“Ah, aku juga tidak suka,” tambahnya. “Tapi mama selalu membelikanku balon. Mengatakan aku manis jika tersenyum sebab hal sepele. Aku rindu mama.”
Sebulir air mata sukses jatuh dari kelopak mataku. Aku tidak bisa menahan perasaan takut untuk kehilangan mamaku sendiri. Merasakan kesedihan yang kekasihku alami, juga membuatku sekarat. Kerinduan itu, aku tahu betapa sulit untuk mengatasinya dan ia berhasil. Aku salut.
∞
Rabu, 17 April 2019.
Kini, walau tiada dirimu disisiku. Walau sudah kuketahui jika dirimu adalah orang yang salah—yang pernah kupersilakan masuk kedalam kehidupanku—, aku tetap berterima kasih pernah memberiku segala pengertian jika seorang mama adalah yang terbaik. Seorang mama adalah sumber kebahagiaan sejati. Kau membuatku menyesal setengah mati telah melawan mamaku, berdebat dengannya juga membuatnya menangis. Jujur, berkat dirimu sekarang aku menjadi dekat dengannya. Membagi kisah suka dan duka, menangis pada pelukannya serta aku ‘tak menyia-nyiakan waktu selagi masih bisa menggapainya dalam keseharianku.
Terima kasih telah menyadarkanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar