Selasa, 23 Juli 2024

June || Ellunar

            Aku menatap jendelaku yang setengah terbuka. Burung-burung yang berterbangan, mengingatkanku pada saat dimana hanya senyum yang aku miliki. Hal yang sama, namun dengan kisah yang berbeda. Awalnya, aku ‘tak tahu apa itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi di hari itu, aku merasakannya. Tanpa cemoohan, tanpa rasa berat hati.

            Kamis, 13 Juni 2019.

            Aku menoleh disaat seorang wanita berdiri dengan koper besarnya, menatapku tanpa senyuman. Ingin rasanya aku tersenyum dengan ramah, tapi sepertinya bukan hal yang baik untuk saat ini. Jadi, aku hanya terdiam kaku berusaha menerima tatapan kejinya.

            “Permisi,” ujarnya sekali lagi membuatku tidak jadi mengalihkan pandanganku pada ponsel yang sedari tadi meronta untuk kuperhatikan.

            “Ya?” tanyaku polos.

            “Permisi, itu tempat dudukku,” katanya  sambil menunjukkan tiket kereta miliknya.

            “Oh?” desahku ketika membaca kebenaran yang berusaha gadis itu katakan.

            Aku mengambil ponsel dan tas kerjaku dengan cepat dan duduk disisi jendela. Aku melempar tatap pada awan biru yang terus berjalan, meninggalkan keindahan di belakangnya menuju kebahagiaan yang belum ia ketahui. Kemudian aku tersenyum. Senyumku lolos ketika burung-burung berterbangan dan hal itu menyimpan daya tarik tersendiri bagiku.

            Lalu aku tersenyum sekali lagi. Ketika tatapanku jatuh pada wanita yang menatap layar laptopnya dan terus memainkan jarinya dengan sangat cepat. Terkadang wanita itu tersenyum, terkadang mendesah menyerah dan terkadang, ia terkekeh nyaring, membuatku ikut tersenyum dalam diam.

            “Kau ‘tak suka duduk dekat jendela?” tanyaku membuka kesempatan untuk menjauhkan kebosanan yang sedang kuderita. Mungkin karena aku kurang beruntung, wanita itu hanya menoleh sedikit dan tidak menjawab pertanyaanku. Jadi aku mencoba lagi. “Kau suka menulis rupanya.”

            “Erycca Xeavona,” katanya setelah ia mendesah ringan.

            “Hem?” gumamku.

            “Kau akan berujung memperkenalkan diri dan bertanya perihal namaku, ‘kan?” Wanita itu tersenyum sedikit lalu kembali menatap layar laptopnya. Ia melanjutkan dengan lirih tapi aku tetap bisa mendengarkan apa yang ia katakan. “Call me Xea.”

            “Michael Evans,” balasku. Aku tahu itu sangat canggung tapi aku tidak peduli. “Just...

            “Evans?” selanya. Xea menatapku sedikit lebih lama sekarang dan aku memiliki kesempatan untuk memastikan warna matanya adalah biru muda hampir abu-abu. Sangat feminim dan menggoda, kurasa. “Boleh aku memanggilmu dengan nama Evans?”

            Senyumku tidak bisa berkompromi memang. Aku kembali tersenyum dan Xea membalas senyumanku. Entah setan apa yang merasuki, aku tidak menghentikan senyuman yang sangat ingin kusingkirkan saat ini. Apa aku sudah mulai gila?

            “Silakan,” jawabku singkat.

            Xea tersenyum tipis dan kembali fokus pada laptopnya. Terkadang matanya berbinar tapi aku yakin wanita ini sedang berusaha menjiwai apapun yang sedang ia lakukan.

            “Memangnya kau akan pergi kemana, Xea?” tanyaku memberanikan diri.

            “Jakarta.”

            “Oh...”

            “Kau?”

            “Sama.”

            “Sepertinya kau tidak terlatih untuk naik kereta.”

            Aku memandanginya sejenak. Terbesit keinginan untuk bertanya, namun aku lebih memilih kalimat lain yang mungkin akan menjelaskan apa yang berusaha ia sampaikan. “Aku ketinggalan pesawat.”

            “Ceroboh,” celetuknya membuatku kembali tersenyum dengan lepas.

            “Maaf?” tanyaku berusaha tetap sopan.

            “Bagaimana kau bisa ketinggalan pesawat?”

            “Pekerjaan tidak bisa menunggu, Xea.”

            “Memangnya kau bekerja apa?”

            Xea menatapku sekarang. Menatapku tanpa berkedip. Oh, sekarang sudah berkedip. Aku tersenyum karena wanita itu tertarik denganku. Setidaknya, itu yang kupikirkan. Aku suka tatapannya. Aku suka caranya menyapa. Aku suka bagaimana ia tersenyum walau hanya senyum tipis yang ia tunjukkan. Aku suka... aku tidak boleh suka apapun.

            Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan Xea mengernyitkan dahinya. Aku tahu ia bingung tapi aku tetap melakukan apa yang membuatnya bingung. Aku suka membuatnya bingung. Entah mengapa, aku menyukai semua hal yang bisa kulakukan untuk menarik simpatinya.

            “Aku seorang pengacara,” jawabku setelah selesai membuatnya bingung.

            “Awas,” gumamnya dan aku menuntutnya untuk melanjutkan kata yang ia gumamkan. Xea bertanya dalam gesturnya dan aku terus memaksa dalam gesturku. “Awas saja.”

            “Awas apa?”

            “Awas karena kau yang akan masuk ke neraka lebih dahulu.”

            “Neraka?” tanyaku sambil tertawa kecil.

            “Ya, neraka.”

            “Apa kaitannya neraka dengan pengacara?”

            “Kau berbohong demi uang, ‘kan?”

            Aku tersenyum kecil dan terus tersenyum. Aku tidak takut untuk tersenyum karena sepertinya itu adalah hal yang baik untuk memulai pembicaraan dengannya. Juga, sebagai bentuk aku menghormatinya. Jadi, aku tetap tersenyum.

            “Aku memperjuangkan hak anak kecil, Xea.”

            Good for you.”

            Good for me,” ulangku penasaran dengan apa maksudnya.

            “Apa kau suka anak kecil?”

            “Sangat.”

            “Aku juga.”

The present.

 

            The last thing I could remember about her, was her smile. Xeavona tersenyum padaku dengan sangat lebar ketika ia mengakui jika ia menyukai anak kecil. Dan aku menyukainya. One perfect moment when I realized jika aku mampu bahagia, dengannya. No more being lonely, just happy.

            My dear, Erycca Xeavona.

                        Dari Juni hingga Juli, aku tetap mencintaimu. Disertai kelipatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar