Selasa, 23 Juli 2024

June || Ellunar

            Aku menatap jendelaku yang setengah terbuka. Burung-burung yang berterbangan, mengingatkanku pada saat dimana hanya senyum yang aku miliki. Hal yang sama, namun dengan kisah yang berbeda. Awalnya, aku ‘tak tahu apa itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi di hari itu, aku merasakannya. Tanpa cemoohan, tanpa rasa berat hati.

            Kamis, 13 Juni 2019.

            Aku menoleh disaat seorang wanita berdiri dengan koper besarnya, menatapku tanpa senyuman. Ingin rasanya aku tersenyum dengan ramah, tapi sepertinya bukan hal yang baik untuk saat ini. Jadi, aku hanya terdiam kaku berusaha menerima tatapan kejinya.

            “Permisi,” ujarnya sekali lagi membuatku tidak jadi mengalihkan pandanganku pada ponsel yang sedari tadi meronta untuk kuperhatikan.

            “Ya?” tanyaku polos.

            “Permisi, itu tempat dudukku,” katanya  sambil menunjukkan tiket kereta miliknya.

            “Oh?” desahku ketika membaca kebenaran yang berusaha gadis itu katakan.

            Aku mengambil ponsel dan tas kerjaku dengan cepat dan duduk disisi jendela. Aku melempar tatap pada awan biru yang terus berjalan, meninggalkan keindahan di belakangnya menuju kebahagiaan yang belum ia ketahui. Kemudian aku tersenyum. Senyumku lolos ketika burung-burung berterbangan dan hal itu menyimpan daya tarik tersendiri bagiku.

            Lalu aku tersenyum sekali lagi. Ketika tatapanku jatuh pada wanita yang menatap layar laptopnya dan terus memainkan jarinya dengan sangat cepat. Terkadang wanita itu tersenyum, terkadang mendesah menyerah dan terkadang, ia terkekeh nyaring, membuatku ikut tersenyum dalam diam.

            “Kau ‘tak suka duduk dekat jendela?” tanyaku membuka kesempatan untuk menjauhkan kebosanan yang sedang kuderita. Mungkin karena aku kurang beruntung, wanita itu hanya menoleh sedikit dan tidak menjawab pertanyaanku. Jadi aku mencoba lagi. “Kau suka menulis rupanya.”

            “Erycca Xeavona,” katanya setelah ia mendesah ringan.

            “Hem?” gumamku.

            “Kau akan berujung memperkenalkan diri dan bertanya perihal namaku, ‘kan?” Wanita itu tersenyum sedikit lalu kembali menatap layar laptopnya. Ia melanjutkan dengan lirih tapi aku tetap bisa mendengarkan apa yang ia katakan. “Call me Xea.”

            “Michael Evans,” balasku. Aku tahu itu sangat canggung tapi aku tidak peduli. “Just...

            “Evans?” selanya. Xea menatapku sedikit lebih lama sekarang dan aku memiliki kesempatan untuk memastikan warna matanya adalah biru muda hampir abu-abu. Sangat feminim dan menggoda, kurasa. “Boleh aku memanggilmu dengan nama Evans?”

            Senyumku tidak bisa berkompromi memang. Aku kembali tersenyum dan Xea membalas senyumanku. Entah setan apa yang merasuki, aku tidak menghentikan senyuman yang sangat ingin kusingkirkan saat ini. Apa aku sudah mulai gila?

            “Silakan,” jawabku singkat.

            Xea tersenyum tipis dan kembali fokus pada laptopnya. Terkadang matanya berbinar tapi aku yakin wanita ini sedang berusaha menjiwai apapun yang sedang ia lakukan.

            “Memangnya kau akan pergi kemana, Xea?” tanyaku memberanikan diri.

            “Jakarta.”

            “Oh...”

            “Kau?”

            “Sama.”

            “Sepertinya kau tidak terlatih untuk naik kereta.”

            Aku memandanginya sejenak. Terbesit keinginan untuk bertanya, namun aku lebih memilih kalimat lain yang mungkin akan menjelaskan apa yang berusaha ia sampaikan. “Aku ketinggalan pesawat.”

            “Ceroboh,” celetuknya membuatku kembali tersenyum dengan lepas.

            “Maaf?” tanyaku berusaha tetap sopan.

            “Bagaimana kau bisa ketinggalan pesawat?”

            “Pekerjaan tidak bisa menunggu, Xea.”

            “Memangnya kau bekerja apa?”

            Xea menatapku sekarang. Menatapku tanpa berkedip. Oh, sekarang sudah berkedip. Aku tersenyum karena wanita itu tertarik denganku. Setidaknya, itu yang kupikirkan. Aku suka tatapannya. Aku suka caranya menyapa. Aku suka bagaimana ia tersenyum walau hanya senyum tipis yang ia tunjukkan. Aku suka... aku tidak boleh suka apapun.

            Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan Xea mengernyitkan dahinya. Aku tahu ia bingung tapi aku tetap melakukan apa yang membuatnya bingung. Aku suka membuatnya bingung. Entah mengapa, aku menyukai semua hal yang bisa kulakukan untuk menarik simpatinya.

            “Aku seorang pengacara,” jawabku setelah selesai membuatnya bingung.

            “Awas,” gumamnya dan aku menuntutnya untuk melanjutkan kata yang ia gumamkan. Xea bertanya dalam gesturnya dan aku terus memaksa dalam gesturku. “Awas saja.”

            “Awas apa?”

            “Awas karena kau yang akan masuk ke neraka lebih dahulu.”

            “Neraka?” tanyaku sambil tertawa kecil.

            “Ya, neraka.”

            “Apa kaitannya neraka dengan pengacara?”

            “Kau berbohong demi uang, ‘kan?”

            Aku tersenyum kecil dan terus tersenyum. Aku tidak takut untuk tersenyum karena sepertinya itu adalah hal yang baik untuk memulai pembicaraan dengannya. Juga, sebagai bentuk aku menghormatinya. Jadi, aku tetap tersenyum.

            “Aku memperjuangkan hak anak kecil, Xea.”

            Good for you.”

            Good for me,” ulangku penasaran dengan apa maksudnya.

            “Apa kau suka anak kecil?”

            “Sangat.”

            “Aku juga.”

The present.

 

            The last thing I could remember about her, was her smile. Xeavona tersenyum padaku dengan sangat lebar ketika ia mengakui jika ia menyukai anak kecil. Dan aku menyukainya. One perfect moment when I realized jika aku mampu bahagia, dengannya. No more being lonely, just happy.

            My dear, Erycca Xeavona.

                        Dari Juni hingga Juli, aku tetap mencintaimu. Disertai kelipatannya.

Love, Worst Life and the Final Perfect Life

            “Valentina!”

            Just walk away from me. I need to do this.

            Depression isn’t gonna last forever. Depression only gonna lead you to suicide. Come on, put it down.

            I’m triplets, Gio. My parents  died, my brothers died, and I’m the only one who lives. And the one who I’ve been counted for, just dumbed me like garbage. No, I’m not depressed. I’m just tired of living.

            Just count on me. You know I never have a single space just to let you drown.

 

Kita, bagaikan sebuah kisah tanpa akhir.

—Ragiotte Varalle—

 

Bagaimana pun juga, aku layaknya sebuah kutukan.
Ditakdirkan untuk terus sendiri.

—Avora Valentiana—

 

 

Present Day

            That was years ago. Semua sudah kembali ke jalan yang sebenarnya. You have to forget this situation and just trying to live.

            Well, I’m pretty sure that I’m tired.

            “Valentina,” Aku mengangkat wajahku dan berusaha untuk terus mendengarkan perkataan lawan bicaraku, “just tell me how you feel.”

            “Aku ingin melakukan hal yang sama, seperti delapan tahun yang lalu.” Aku menutup buku panduan yang kupegang. Buku panduan yang seharusnya membantuku untuk terus bertahan hidup. Tapi apakah aku perlu secara konsisten berbohong? “Living this life, membuatku terus mengingat bahwa aku tidak layak untuk hidup.”

            “Tapi kau masih disini. Alive. That’s a good thing.

            Is it?” Hidup adalah anugerah Tuhan. Everybody knows that. Tapi apa gunanya hidup tanpa keluarga? Tanpa manusia-manusia yang Tuhan kirimkan untuk bahagia bersama kita? Apa gunanya aku berjuang untuk diriku sendiri? Apakah pada akhirnya mereka akan kembali? Extremely not. I got it. Kau menyuruhku untuk mencari alasan untuk terus bertahan. Maybe I did find one. Or maybe I'm not. Yang kutahu, kau jelas tidak terlalu membantu disini.”

            Dejeannya, seorang dokter muda. Terapisku. Yang tiba-tiba, seiring berjalannya waktu, menjadi temanku. Actually, the only friend I have. “Aku paham. Perasaan seperti itu akan kembali secara terus menerus. Terkadang, kau akan dibanjiri oleh banyak kebingungan. Lalu berubah menjadi ketidakpercayaan diri, menghalangimu untuk melanjutkan hidup yang indah ini.”

            “Indah? Paham? Apakah setidaknya satu kali kau pernah kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupmu?”

            “Ya…”

            “Derrick? Let’s don’t count him. Kau masih dapat bertemu dengannya, sewaktu-waktu. He is alive, Jean.” Jeanny kehilangan kata-katanya. Seakan tertelan oleh kebimbangannya sendiri. “Aku kehilangan mereka. All of them. Dan mungkin, kau yang akan meninggalkanku setelah ini.”

            “Tidakkah kau mampu berpikir positif?”

            “Positif? Coba jelaskan padaku hal positif apa yang dapat aku hidupi jika aku tidak mampu menemukan satu poin dalam hidup yang membuatku boleh terus bertahan hidup.”

            How’s about salvation?” Aku sudah tidak mendengar pertanyaan itu selama tujuh tahun yang lalu. “You already found it, am I right?

            I did. I did everything for Him. Sepanjang sisa hidupku. Aku menemukan alasanku untuk bertahan, memberitakan Injil, dan menghidupi buah-buah roh.” Aku hanya ingin mengeluh. “I did enough of praying.

            Not that enough, Val.

            I know.” Karena sebenarnya, aku hanya berusaha untuk kuat. Aku cukup dewasa untuk tahu jalan hidupku seperti apa. Aku tahu berjalan bersama Tuhan adalah sebuah keuntungan. Tapi di dunia ini jalanku tidak rata, dan hidupku seperti dijungkir-balik. “Aku hanya ingin mencari jawabannya lebih lagi. Mengapa setiap orang dalam hidupku harus pergi dan hanya menyisakan diriku sendiri?”

            Not everyone has left.

 

People died, but Christ will always live in eternity and in your heart.

—Ragiotte Varalle—

 

2015

            “Bukan ini yang kuharapkan darimu, Gio, ketika kau mengatakan aku dapat bergantung padamu.”

            This is exactly what I meant, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah membiarkan satu moment pun membuatmu tenggelam.”

            Seorang bayi. Usianya satu setengah tahun. Namanya Elena. Cantik setengah mati, hingga menatapnya pun aku tak kuasa. Dalam dekapanku, ia sangat tenang. Senyumnya bagaikan mutiara yang begitu murni dan tulus, yang baru saja dituai dari cangkangnya. Elena Claviaoretta Varalle. Namanya pun begitu indah dan sejuk di hati.

            “Aku tidak pernah tahu kau sudah menikah.”

            I'm not.

            “Jadi anak siapa ini?”

            “Dia adalah anak yang Tuhan kirim untuk menyelamatkan hidupku. I almost did kill myself around two years ago. Sampai dua orang datang membawa foto ultrasonografi dari bayi yang begitu mungil, dan begitu cantik. Mereka memiliki banyak anak, Elena adalah anak ke delapan mereka.”

            “Siapa mereka?”

            “Mereka adalah pasangan penatua di tempatku beribadah. Mereka mendengarkan kabar burung bahwa tunanganku meninggal dunia tepat tiga bulan sebelum hari pernikahan kami. Kami merencanakan banyak hal, hingga keputusan untuk memiliki anak.”

            “Jadi…”

            “Mereka datang, dan berjanji akan menyerahkan anak ini. Mereka melakukan c-section bertepatan dengan hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami. Aku tinggal di rumah mereka selama lima bulan, untuk melihat proses elena tumbuh menjadi gadis kecil yang begitu sehat. Aku merawatnya, sebanyak orang tua kandungnya merawatnya. Clavia adalah nama tunanganku; gadis ini pun tumbuh sebesar namanya.”

            Aku menatap wajah gadis kecil ini dengan begitu haru. Bagaimana bisa bahkan sebelum kelahirannya, ia sudah menjadi penyelamat Gio. “Lalu kau serahkan bayi ini kepadaku? What’s your deal?

            I'm not gonna live that long. I even believe I can’t see her as a grown up woman.

            What are you talking about?

            “Aku sakit, Val, dan Elena membutuhkan sosok baru untuk menjaganya. Aku yakin mengembalikannya kepada orang tua kandungnya adalah hal yang baik, tapi she saved me once. Aku yakin Elena bisa memberimu semangat untuk hidup, just like she did to me.

            “Seharusnya kau berkata, ‘I'm not gonna die, not until Elena becomes a grown up woman’. Mengapa kini kau menyerah?”

            “Karena sudah waktunya bagiku untuk kembali ke rumah Bapa. Aku sakit, stadium empat.”

            “Kanker? Apa?”

            I'm not gonna tell you. Dan aku tidak bisa berjanji bahwa orang tuanya tidak akan mengambil Elena darimu setelah kepergianku, tapi aku yakin Elena akan memiliki kisah yang luar biasa dan bangga saat dirinya dewasa, bahwa ia telah menyelamatkan hidupku dan milikmu. Now this is what I'm gonna ask. Apakah kau siap menjaganya untukku?”

 

Dua alasanku untuk bertahan hidup.
Gio dan janjinya, Elena dan janjiku.

—Avora Valentiana—

 

Can you make it three?
Christ and His promises.

—Ragiotte Varalle—

 

 

Present Day

            “Mama, apakah kita akan sampai?”

            “Mungkin sepuluh menit lagi, Elena. What do you need?

            “Tidak ada.” Elena menggelengkan kepalanya dengan begitu bahagia. “Aku hanya tidak sabar untuk bertemu dengan papa. Banyak hal yang ingin kuceritakan kepadanya.”

            Don’t you pray?     

            Of course, Mama. Tapi aku ingin sesekali seolah berbicara kepada papa. Aku sudah meluapkan seluruh hidupku kepada Tuhan, dan tidak jarang Tuhan menjawab doaku lewat mama, teman-teman, dan banyak orang lain di tempat kita beribadah.”

            Elena sangat lembut, taat beribadah, penuh dengan sukacita, dan ia tahu bahwa saat ini khayalannya sedang meluap-luap tapi ia tidak meninggalkan iman ataupun melupakan kasih karunia Tuhan dalam hidupnya. “Hari ini mama ingin kamu bertemu dengan dua orang yang sangat berharga bagi hidup mama, papa dan kelak kamu. Apa kamu siap?”

            “Apa mereka orang baik?” Biasanya anak-anak selalu menganggap orang baik sebagai malaikat di dalam kehidupan mereka. Tapi Elena selalu berbeda, sikap dewasanya terlalu logis sehingga ia tahu bahwa malaikat, hanya berada di dalam kekekalan. “Apa mama bersyukur dengan kehadiran mereka?” Anak mana yang bertanya sedetail itu?

            “Kamu ada di dalam kehidupan mama dan papa, itu semua karena mereka. Tuhan mengirim mereka supaya kamu bisa menjadi malaikat kecil mama dan papa.”

            “Malaikat hanya ada di Surga, Ma,” kekehnya. See? Terlalu dewasa. “Tapi Tuhan di dalam hati kita. Apa mereka punya Tuhan juga di dalam hati mereka?”

            Of course.

            Then let’s see them! Aku ingin mengenal mereka seperti mama dan papa mengenal mereka dengan begitu baik. Apa mereka punya anak seumuranku, Ma?” Aku mendidiknya begitu baik. Terkadang aku bangga dengan diriku sendiri. “Apa aku akan bertemu mereka juga?”

            “Hanya satu. Dua tahun lebih muda darimu.”

            “Tujuh tahun?”

            “Sekitar itu. Yang lain jauh lebih besar darimu.”

            “Aku ingin bermain bersama mereka jika sempat, apakah boleh?”

            Aku mengangguk dengan senyuman lebar sekaligus bangga padanya. “Of course. But today, it’s just you, me and these two person who loves you so much.

            “Ma, apa mama pernah bertanya kepada papa mengapa ia berhenti melawan penyakitnya?”

            I did.

            “Apa jawaban papa?”

            “Bagaimana jika mama ceritakan dalam perjalanan pulang nanti?”

            What if there is no tomorrow? Tidak bisakah mama ceritakan sekarang?”

            “Bagaimana saat kita berbicara bersama dua kenalan mama?

            “Mengapa?” Karena, sayang, jawaban itu begitu indah yang membawa mama sampai kepada keputusan untuk tetap melanjutkan hidup. “Apa jawaban papa, Ma?”

 

Sebab bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
Filipi 1:21

—Ragiotte Varalle—

 

Dan aku akan terus hidup, sampai dapat berkumpul bersama dengan Kristus,
keluargaku, dan kamu—Gio.
That is the definition of my perfect life.

—Avora Valentiana—

Kau dan Memoriku || Ellunar

          Kau boleh jadi orang yang salah. Tapi untuk waktu yang telah berlalu, aku berterima kasih. Terima kasih kepada hari yang pernah kau berikan. Terima kasih kepada hari yang pernah kau lukis pelangi untuk membuatku merasa sempurna. Merasakan betapa jauhnya aku dari sebuah kebahagiaan yang utuh hingga kau celikkan aku. Terima kasih hari itu pernah ada.

          Senja di langit Surakarta. Rabu, 20 September 2017.

          Langit yang seolah tertawa sungguh melampaui ekspetasiku. Jika langit memang bahagia, mengapa aku dan kekasihku harus basah kuyub seperti ini? Ya, sepulangku sekolah, aku dan kekasihku memutuskan untuk menghabiskan sore kami bersama. Awalnya kami merencanakan siang bersama dengan harapan begitu gerbang sekolah dibuka kami langsung meluncur ke tempat yang ingin kami tuju. Hanya saja hujan badai melanda, membuat banyak waktu terbuang sia-sia.

          Namun bagaimanapun juga, disinilah kami. Duduk berdua pada tempat suci—sebuah taman doa—yang sudah menjadi kebiasaan kami. ‘Tak ada kicauan para burung, ‘tak terdengar gerutu para binatang lainnya. ‘Tak ada juga kupu-kupu lucu yang hinggap pada bunga mekar yang indah. Jujur, ini adalah senja pertamaku bersama dengan orang yang tepat. Bersama dengan sang kekasih. Langit oranye menaungi kami diatas hijau pepohonan yang rindang. Saat-saat bahagia yang pernah kurasakan. Untuk melupakannya, aku membutuhkan waktu.

          “Sayang aku ‘tak memiliki kesempatan untuk mengenalkanmu kepada mamaku,” ujar Aria, kekasihku.

          “Ya, sayang sekali,” desahku.

          Memang aku merindukan saat-saat itu. Saat dimana aku bisa mengenal keluarganya, mengenal kedua orang tuanya, merasakan diterima pada keluarga yang ingin kujadikan sebagai pasangan hidup. Hanya saja waktu yang tidak mengizinkan dan aku begitu menyesal hadir selepas kepergian orang yang paling Aria sayangi.

          “Kau tahu tidak? Aku sangat senang melihat kereta yang pulang-pergi dihadapanku,” katanya penuh dengan senyuman. Aku memperhatikan ketika ia menambahkan, “Mama sangat senang menemaniku menunggu portal kereta api turun. Dan sebelum aku sempat melihatnya, mama ‘tak akan membawaku pulang.”

          “Kau pasti bangga memilikinya sebagai seorang ibu. Sayang sekali aku tidak sempat bertemu,” jawabku.

          Aria membawa wajahku untuk menatapnya. Raut kesedihan mungkin saja tergantung disana, namun yang ia pedulikan adalah senyuman yang begitu kupaksakan. Aria menceritakan beberapa hal menarik yang biasa ia lalui bersama mamanya sewaktu ia masil kecil. Satu persatu membawaku pada rintikan air mata manja yang mengalir tanpa kusadari.

          “Kekurangan kalium. Diabetes. Semua adalah penyebab aku kehilangan mamaku untuk selamanya,” lanjutnya.

          “Aku tidak bisa membayangkan betapa kuatnya dirimu saat itu. Jika itu aku, pastilah aku tidak akan berhenti menangis.”

          “Iya, aku justru bahagia mendapatkan uang sumbangan dari orang-orang yang datang untuk melayat.”

          “Bodoh!” ujarku sambil memukul dahinya keras-keras. “Mengapa aku bisa memiliki kekasih yang bodoh sepertimu?”

          Ia tersenyum. Mengajariku menjadi kuat.

          “Selagi kau bisa, gunakan waktu yang ada untuk melihat mamamu tersenyum. Karena disaat semua direnggut darimu, ‘takkan ada lagi yang bisa kau lakukan selain menangis memohonnya untuk kembali. Selagi waktumu cukup, kusarankan untuk ‘tak melukai hatinya.”

          Aku melihat senyuman pada wajahnya. Mengingat mamanya menjadi hal termanis dalam kenangannya. Sedangkan aku mendengarkan kisahnya dalam air mata haru.

          “Kau suka balon?” tanyanya memecah lamunanku. Aku menggeleng. Balon bukanlah kebiasaanku pada masa kecilku. Jadi aku yakin aku ‘tak menyukainya.

          “Ah, aku juga tidak suka,” tambahnya. “Tapi mama selalu membelikanku balon. Mengatakan aku manis jika tersenyum sebab hal sepele. Aku rindu mama.”

          Sebulir air mata sukses jatuh dari kelopak mataku. Aku tidak bisa menahan perasaan takut untuk kehilangan mamaku sendiri. Merasakan kesedihan yang kekasihku alami, juga membuatku sekarat. Kerinduan itu, aku tahu betapa sulit untuk mengatasinya dan ia berhasil. Aku salut.

          Rabu, 17 April 2019.

          Kini, walau tiada dirimu disisiku. Walau sudah kuketahui jika dirimu adalah orang yang salah—yang pernah kupersilakan masuk kedalam kehidupanku—, aku tetap berterima kasih pernah memberiku segala pengertian jika seorang mama adalah yang terbaik. Seorang mama adalah sumber kebahagiaan sejati. Kau membuatku menyesal setengah mati telah melawan mamaku, berdebat dengannya juga membuatnya menangis. Jujur, berkat dirimu sekarang aku menjadi dekat dengannya. Membagi kisah suka dan duka, menangis pada pelukannya serta aku ‘tak menyia-nyiakan waktu selagi masih bisa menggapainya dalam keseharianku.

          Terima kasih telah menyadarkanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Senin, 22 Juli 2024

The Twilight Illusion

Apa aku sudah gila?
Apa aku sudah kehilangan akal sehatku?
Apa yang terjadi padaku?
Apa aku sedang bermimpi?
Adalah empat pertanyaan yang selalu kuajukan kepada diriku sendiri ketika hidupku sedang dalam roller coaster emosi yang tidak tertahankan. Adakah orang lain yang melakukan hal seperti ini? Mempertanyakan arti hidupnya sendiri? Atau hanya aku saja?

______________________________

"Wait." Eleatha Bernadett Zheverry menyambar tasnya dan juga mantelnya, dan tanpa berpikir panjang berlari menuju pintu depan apartemennya. Ia menekan kata sandi rumahnya dan menutupnya di belakang tubuhnya, ketika seorang pria berpakaian rapi—lengkap dengan jas dan dasinya—menyambutnya dengan pelukan hangat. "Hei, maaf aku harus mengurus banyak hal sebelum pergi denganmu."

"It's okay," balas pria yang memiliki dua mata berwarna biru samudera itu sambil mengulurkan tangannya dan mulai berjalan ke basement apartemen Eleatha. "Aku sudah membelikan beberapa parsel untuk orang tuamu." Pria itu membuka mobilnya dan menunggu Eleatha untuk masuk ke dalam mobil sebelum ia berjalan menuju kursi pengemudinya. "Here," Pria itu mengambil salah satu bingkisan dan memberikannya pada Eleatha yang sedang memasang seat beltnya, "this one is for you."

Eleatha menerima bingkisan tersebut dengan senyuman yang ia paksakan. "Layton, there's something you need to know." Ia perlahan membuka bingkisan tersebut dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil. "Kau tahu bahwa aku tidak pernah hidup bersama dengan kedua orang tuaku." Ia membuka kotak merah tersebut dan menemukan sebuah kalung dengan bentuk hati yang begitu berkilau. "Cause I never have one." Ia mengusap lembut kalung tersebut dan kini menatap ke arah mata biru Layton, kekasihnya yang sama sekali belum mengenal dirinya; yang hendak menikahinya dalam waktu dekat. "Kau bertanya kepadaku, apakah aku ingin menikah denganmu. Sure, I'd love to. A father figure is all that I have, tapi hari ini kau tidak akan bertemu dengan orang tua kandungku. Is that fine with you?"

Layton Gweth Parskel menatap Eleatha tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia terdiam begitu menyadari apa yang wanita itu coba katakan kepadanya. Dan satu-satunya pikiran yang berada di dalam benaknya kali ini adalah, "Do I still want her as my wife?"

Layton Parskel menahan napasnya sendiri selagi pikirannya berkeliaran dan wanita di hadapannya memandanginya setengah menangis. Air mata wanita itu berkumpul di pelupuk matanya. "Is she even real?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Layton..."

Baru saja Eleatha hendak kembali berbicara, Layton memotong ucapan wanita itu dengan mengambil kotak merah yang masih berada di tangan Eleatha. Ia mengeluarkan kalung berlian tersebut dan mengalungkannya pada leher Eleatha.

Layton lalu mengambil tangan Eleatha dan mencium punggung tangan wanita itu. "Let us meet your father, Elle."

______________________________

Seorang pria berusia enam puluh delapan tahun membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Ketika pintu rumah itu terbuka sepenuhnya, Layton dapat melihat kondisi menyedihkan yang dimiliki oleh papa dari wanita yang ia cintai. Pria itu duduk di atas kursi roda dan terlihat sangat kurus. Tatapannya sayu dan terkadang terlihat kosong. Pakaiannya cukup lusuh jika dibandingkan dengan pakaian yang ia kenakan.

Eleatha menarik tangan Layton dan dengan gestur tubuhnya mempersilakan pria itu untuk masuk, akan tetapi Layton menatap papa Eleatha dengan tatapan kasihan yang menjijikkan. Lalu pada detik berikutnya, Layton melayangkan tatapannya pada rumah yang ditinggali pria tua itu. Sangat kecil, bila dibandingkan dengan rumahnya atau apartemen Eleatha. Sangat kumuh, hampir seperti tempat tinggal orang yang bekerja sebagai seorang janitor. Begitu gelap, untuk dapat dikatakan sebagai rumah.

"Pa," ujar Eleatha yang kini mengambil posisi untuk berdiri berhadapan dengan papanya. "Bagaimana kabarmu? I'm home now." Eleatha menunjuk kepada pria yang ia bawa dan kembali berujar, "This is Layton Parskel. He's here for me. He wants to asking your permisson to marry me—in person."

Layton yang berdiri dengan membawa parsel-parsel yang telah ia persiapkan, sama sekali tidak bergerak ketika papa Eleatha berusaha untuk bangkit berdiri sebagai bentuk pria itu menghormatinya. Well, kurasa aku tahu siapa yang tidak menghormati siapa, bisik Layton dalam hatinya.

Ketika papa Eleatha sudah sepenuhnya berdiri dengan kedua kakinya, pria itu mengulurkan tangannya dan berujar dengan lembut, "R-r-aymond Zh-zhe-verry." Dan tergagap.

Layton menahan napasnya sendiri, menghitung dalam hati angka satu sampai tiga belas. Setelah itu baru ia memutuskan untuk menggapai uluran tangan Raymond Zheverry. "Layton..." Kalimatnya terputus begitu saja ketika ia hendak memperkenalkan dirinya sendiri. Matanya kembali terarah pada ruangan di belakang Raymond.

"Apa kau tidak akan masuk?" tanya Eleatha dengan nada yang lembut dan setengah berbisik. "Aku tahu kau sangat suka kopi, jadi aku memberitahu papa dan papa sudah membelikan kopi terenak untukmu." Eleatha berlari menuju dapurnya ketika ia melihat Raymond dan Layton telah duduk berhadap-hadapan. "I'll be back with your coffee," serunya dari dapur.

Layton dan Raymond, dua pria kaku yang saling menatap tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun. Yang satu disebabkan oleh penyakit afasia yang dideritanya, yaitu di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan berkomunikasi akibat adanya kerusakan di otak. Yang satu lagi disebabkan oleh penyakit mutisme selektif, yaitu di mana seseorang mengalami gangguan berkomunikasi yang disebabkan oleh faktor psikologis yang sedang ia alami saat ini—yaitu dirinya yang merasa tidak nyaman berada di sekitar pria yang terlihat menyedihkan itu.

Eleatha melongokkan kepalanya dari pintu dapur ketika ia tidak mendengarkan suara dari ruang tamu. Ia mempercepat pekerjaannya di dapur dan dengan cepat kembali ke ruang tamu untuk mencairkan ketegangan yang terjadi di sana.

"So, apa yang ingin kau tanyakan padaku atau papaku?" Eleatha meletakkan secangkir kopi buatannya di hadapan Layton dan secangkir teh madu di hadapan Raymond. "About me? About him? About this family?"

Layton berdeham kecil dan mengambil kopi di hadapannya untuk membasahi kerongkongannya. "Your mom?"

"Oh, she died when I was four." Eleatha mengeluarkan foto keluarganya dari dalam lemari dan memberikannya pada Layton. "Dia adalah seorang penari yang hebat. Juga gemar menyanyi. She died with heart attack."

"S-siapa ini?"

"Oh, ini kakakku. Namanya Abigael."

"She's your step sister?" Eleatha menerima pertanyaan tersebut dengan baik dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Rumah ini adalah rumah masa kecilku. Sekarang papa yang menempatinya. Setiap hari aku akan datang untuk mengurusnya dan membersihkan rumah ini. Setiap pukul empat sore."

Layton kembali meneguk kopinya selagi ia mencerna semua cerita yang disodorkan kepadanya. "Siapa yang akan mengurusnya jika kau tidak bersama dengannya?"

"Aku menyewa pengasuh untuk papa."

"A-ar-are you go-going t-to mar-ry my da-daughter?" Raymond yang sedari tadi hanya berdiam diri untuk menyimak, kini mengangkat suaranya. "Mi pequeña princesa, a-apa k-kau su-sud-sudah mem-mem-mikirkan-kannya?" Suara Raymond tergagap dan bicaranya sangat lamban, akan tetapi nada bicaranya sangat halus dan penuh kasih sayang.

Eleatha menepuk punggung tangan Raymond dan kembali berbicara kepada Layton. "As I said, Layton, aku hanya memiliki papaku ini di dalam hidupku. Abigael tidak pernah datang ke dalam hidup kami, dan kami tidak pernah menghubunginya."

"Apa kau tahu apa yang kupikirkan semenjak aku melihat papamu dan ketika aku masuk ke dalam rumah ini?" Eleatha menggelengkan kepalanya dan pria itu kembali berkata. "You're so pitiful to live in a house like this. Kemudian aku melihat dirimu menguasai rumah ini, dan bagaimana kau merawat papamu. Dan, ya, aku melihat keluarga kecil ini begitu memilukan. My penthouse is just too big, compared to this one." Layton bisa melihat Eleatha tengah menyipitkan matanya ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya, maka ia melanjutkan, "Tapi aku tahu kondisi ekonomi seseorang bisa berbeda-beda. Your dad and my dad, pasti sangat berbeda. Dan aku menyadari bahwa aku terlalu beruntung untuk bisa hidup di dalam keluargaku. Tapi aku juga memikirkan dirimu..."

"Aku tidak butuh rasa kasihanmu, Layton."

"Tunggu, aku tidak mengasihanimu. Aku memiliki satu pemikiran yang besar tentangmu, keluargamu. I wanna be the part of this family, and I want you to be very happy di tengah-tengah keluargaku." Layton menunggu jawaban ataupun sanggahan dari Eleatha, tetapi wanita itu hanya terdiam. "Mr. Zheverry, kau bisa tinggal bersama dengan kami, jika memang kau tidak keberatan." Layton berdiri dan berlutut di hadapan Eleatha dan juga Raymond. Matanya tertuju pada keadaan kamar tidur yang setengah terbuka di belakang Eleatha. "You can have the main bedroom as yours, Mr. Zheverry."

Eleatha mengerutkan keningnya dan berbicara dengan spontan, "Aku hanya mendengarkan dirimu yang sedang mengasihaniku sedari tadi. Apa kau sungguh-sungguh tinggal di dalam istana, Parskel? Apa menurutmu nama 'Eleatha Parskel' cukup indah di telingamu dan itu sangat cukup untuk menghina keadaan rumahku dan keluargaku?"

"Elle..."

"Aku sudah mengatakannya sekali, dan kau tahu bahwa aku benci untuk mengulangi perkataanku. But I'll repeat my words to you once again, dan aku pastikan aku sangat serius ketika mengatakannya padamu." Eleatha melepaskan cincin di jari telunjuknya dan memberikannya pada Layton yang masih berlutut di hadapannya. "It's a nightmare to see you here, Mr. Parskel. Aku tidak membutuhkanmu untuk mengasihaniku dan keluargaku. Thank you for having me in your life, for the last two years..."

"Jadi kau ingin aku melepaskanmu? Kau ingin melepaskanku?"

"Ya," jawab Eleatha dengan ragu-ragu. "Aku tidak memerlukan seseorang untuk merubah kondisi keluargaku karena diriku menyedihkan. Aku cukup dengan keluargaku dan..."

"Marry me, Eleatha Bernadett Zheverry." Layton kini mengeluarkan cincin baru yang telah ia persiapkan untuk Eleatha dan menarik jari-jari lentik Eleatha; tanpa memberikan celah bagi wanita itu untuk menolak, ia menyelipkan cincin tersebut. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku. I'm too selfish to let you go. Menikahlah denganku."

______________________________

The end of June,
two weeks before the wedding

"Dua kali dalam satu hari." Eleatha membuka rancangan pernikahannya di buku merah marun yang selalu ia bawa kemana-mana. "Aku ingin melakukan dating show. Well, you know—a show that shows love to people. Aku memiliki banyak teman..." Eleatha mengambil penanya dan mulai menuliskan agenda baru di dalam acara pernikahannya. "Ya, kita akan memisahkan mereka menjadi empat kelompok. Religion—I believe we need doing that one. Age—karena teman-teman kami memiliki jenjang usia yang sangat berbeda..." Eleatha kini mengambil rencana daftar tamunya dan membukanya dari bagian yang paling belakang, di mana hanya nama-nama temannya dan teman Layton yang tertera. "We also have our priority. Namanya Caspera Delington." Eleatha melingkari nama itu dan beralih ke halaman berikutnya, "Dan Briggevetta Ablivizza."

Layton Parskel membuka pintu ruangannya dengan kakinya, karena kedua tangannya penuh dengan makanan ringan yang sengaja ia bawakan untuk calon istrinya. "Elle," ujarnya ketika ia masuk ke dalam ruangan, tidak sadar bahwa wanita itu sedang berbicara dengan wedding organizer mereka.

Eleatha mengangkat tangan kanannya sebagai tanda bahwa dirinya meminta lelaki itu untuk diam. "Ya, ya," lanjutnya pada sambungan teleponnya. "Aku suka ide itu. Kategori berikutnya, mungkin pekerjaan? Let's make 'fun' to be the last category. Lalu untuk after party..." Eleatha membuka laci meja Layton dan mulai mencari surat kesepakatannya dengan wedding organizer mereka, "Aku dan Layton, kami tidak menginginkan ada alkohol di dalamnya. Sesuai dengan perjanjian kita, tea, coffee, milk based, that's gonna be it." Eleatha mengerutkan dahinya mendengarkan jawaban dari Gianna sebagai wedding organizernya, katanya, "Fun? Aku yakin sebuah kesenangan tidak hanya hadir dari alkohol, Gianna. Biarkan saja seperti kesepakatan awal kita."

"What about the dresscode?" Layton menarik lengan Eleatha sehingga wanita itu mendengarkannya.

"Black and white."

"The boys gonna be in white?"

"Sure," jawab Eleatha yang menutup teleponnya dengan tangannya sehingga suara yang di dengar Gianna hanya samar-samar. "Well, Gianna, bagaimana dengan dekorasinya? Apakah mobilnya bisa lebih bagus lagi?"

Eleatha menghabiskan waktu hampir dua jam untuk membicarakan acara pernikahannya, sedangkan Layton mendengarkan pembicaraan tersebut sambil bekerja di sofa ruangannya. Ia lalu mengangkat kepalanya ketika ia melihat kakak tertuanya, Benjamin Parskel yang berjalan masuk ke dalam kantornya dengan diikuti Abigael Parskel dan kedua anak mereka, Evelyn dan Cleovity Parskel.

Layton membelalakkan matanya dan berjalan menuju pintunya. Ia membukanya cepat-cepat dan menghadang kakaknya itu. "Benjamin," ujarnya menyapa pria berusia empat puluh dua tahun itu. "Mengapa tidak memberitahuku terlebih dahulu kalau kau akan pulang secepat ini?" Maksudnya, agar Eleatha tidak perlu bertemu dengan kakaknya yang melarikan diri dari rumah beberapa tahun yang lalu. "I can pick you up at the airport." Dan membawa mereka berempat menjauhi Eleatha.

"Layton, lama tidak berjumpa denganmu," Abigael Parskel mengulurkan tangannya. Mantan kekasih Layton. "Kami dengar kau sedang sibuk mengurus pernikahanmu. Your brother insisted to come three weeks before your wedding, jadi kita bisa menyambut calon istrimu dengan lebih benar. Akan tetapi seminggu kemarin Benjamin sangat sibuk dan kami belum bisa meliburkan Eve atau pun Cleo."

"It's a surprise," ujar Cleo yang berusia lima setengah tahun itu dengan girang.

"Jadi, kami baru bisa kemari minggu ini. Hope you don't mind," lanjut Abigael Parskel yang kini berjalan melewati Layton dan menatap lurus kepada wanita yang berusia lima tahun lebih muda darinya. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu berdiri dengan kaku dan terlihat menahan kemarahannya sendiri. "Ezy," lirih Abigael yang menatap adiknya itu dengan mata berair.

"You knew her?" tanya Eleatha dengan penuh penghakiman kepada Layton.

Layton berjalan mendekatinya, berusaha untuk menjelaskan semuanya. "Elle, aku..." tapi pria itu tidak memiliki penjelasan yang tepat. Ia tahu ia memiliki begitu banyak kesempatan untuk menceritakan dimana Abigael berada. Satu tahun semenjak pertemuan pertama Layton dengan Raymond Zheverry, dan pria itu tetap menutup mulutnya.

"...Ezy, aku menikahi kakak Layton bertahun-tahun yang lalu..."

Papa, aku menemukannya.

"...everything just happened too fast..."

Papa, aku menemukan Abigael 'kita'.

"...aku ingin mengundangmu..."

Papa, apa kau ingin menemuinya sekarang?

"...bagaimana keadaan papa sekarang? Aku sangat merindukannya..."

Papa, apa kau akan membagi cintamu lagi?

______________________________

Five days,
before the wedding

Layton Parskel membanting pintu di belakangnya ketika ia melihat wanita yang ia cintai sedang duduk bersama dengan pria tua berusia enam puluh delapan tahun yang sedang menikmati makan malamnya dengan disuapi oleh wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu. "What the hell did you do, Zheverry?"

Eleatha Bernadett Zheverry mengerutkan dahinya memandangi pria tidak masuk akal yang tiba-tiba memasuki rumahnya tanpa sopan santun. Pria itu seenaknya meluapkan emosi dengan nada yang sangat tinggi dan penuh dengan bentakan. "Why the hell are you here?"

Layton Gweth Parskel yang memiliki tinggi 180 cm itu memandang rendah Eleatha yang terlihat jauh lebih pendek darinya. Ia mencengkeram tangan Eleatha yang sekarang sedang menantang amarahnya. "Aku akan bertanya sekali lagi, Elle. What did you do?"

"Let go of my hand, Parskel." Eleatha mengebaskan tangannya sekeras mungkin akan tetapi pria itu tidak melepaskannya. Namun bagaimanapun, Layton tidak menyakitinya sama sekali. "Apa kau tidak mendengarkanku? Lepaskan aku. Kau tidak berhak meluapkan emosimu seperti ini, Parskel."

"No?" tanya Layton dengan sinis. "I got called from our wedding organizer. Mereka memberitahuku bahwa kau membatalkan pernikahan kita." Layton menarik tangan Eleatha yang kini membuat wanita itu semakin mendekat padanya. "Mengapa kau melakukan itu? Apa aku menyakitimu? Atau kau sedang kehilangan akalmu?"

Eleatha memicingkan matanya dan menatap Layton dengan penuh penghakiman. "The heck? Aku tidak sedang kehilangan akalku, Layton Gweth Parskel. Ya, kau memang menyakitiku."

"Kapan?"

"Kau melupakannya?"

"Kau tidak memiliki alasan apapun untuk menyakitiku seperti ini, Elle."

"Oh, I do lots of reasons, Babe." Eleatha kembali mengebaskan tangannya dan kali ini Layton melonggarkan cengkeramannya. "Pertama," Eleatha mengangkat jari di tangannya yang terbebas dan mulai menghitung alasannya, "apa kau ingat bagaimana kau datang ke rumah ini? Kau bersikap seperti orang yang menderita mutisme selektif--kau kehilangan kemampuanmu untuk berbicara karena keluargaku begitu menjijikkan di matamu. Kau juga mengatakan bahwa rumahku begitu menyedihkan dan papaku begitu memilukan. Kedua," Eleatha mengatur napasnya sebelum ia melanjutkan, "you did ask me who's the girl in my family photo. Dan ketika aku menanyakan alasanmu, kau menjawab hanya penasaran. Lalu dua bulan kemudian, wanita itu--Abigael Zheverry--kakakku yang menghilang bertahun-tahun lalu berjalan ke arahku dengan tatapan sedihnya. She married to your big brother years ago, dan kau menutup mulutmu selama dua bulan lamanya seolah kenyataan bahwa Abigael adalah istri kakakmu tidak penting bagiku."

"Elle..."

"Ketiga, ternyata kau pernah menjalin asmara dengannya dan kau bersikap seolah diriku tidak akan peduli akan hal itu. Kau bahkan tidak berniat untuk meminta maaf padaku." Kemudian Eleatha menaikkan jari manisnya. "Keempat, apa kau tidak sadar bahwa dua hari yang lalu kau membujukku--tidak, kau memaksaku untuk memasukkan papaku ke nursing house milik keluargamu? Aku tahu kau adalah orang yang lahir di keluarga yang sangat kaya, tapi..."

"When did I tell you that? Elle, keluargaku bahkan tidak memiliki nursing house."

______________________________

Early August,
a week before the wedding

Layton menangkap tubuh Eleatha dengan kedua lengan kekarnya dan mengecup dahi wanita itu. "I need to discuss something with you."

"Aku akan terbang ke New Zealand malam ini. Aku akan menjemput papaku dan kembali dua hari lagi."

"Sure. Mari kita bicarakan hal ini terlebih dahulu," bujuk Layton yang kembali mengecup dahi Eleatha.

"Okay, five minutes, atau aku akan terlambat untuk menghadiri rapat siang ini."

"About your dad," ujar Layton begitu Eleatha sudah duduk manis di hadapannya.

"What about him?"

Ia memainkan penanya dan mengetuk-ketukkannya ke meja sebelum dengan ragu berkata, "Aku ingin menempatkannya di salah satu nursing house milik keluargaku di New York."

Eleatha menegakkan tubuhnya dan dengan tegas ia menghardik keinginan Layton. "Not on my watch."

"Kau tetap bisa melihatnya, kau bahkan bisa merawatnya. Raymond Zheverry akan mendapatkan kemewahan terbaik di sisa hidupnya."

"You really think so?" Layton menganggukkan kepalanya menanggapi jawaban Eleatha. "Bertahun-tahun lamanya ia hidup jauh dari kedua putrinya, lalu kau kini ingin mengirimnya di salah satu nursing house milik keluargamu? You just proposing the best hell to him. I'm out."

"What do you mean you're out?"

"Papaku adalah satu-satunya sosok yang membuatku bisa menghargai kehidupan ini. He gave me lessons about living in God's way. Living in the right pattern. Hanya papaku yang membuatku hidup, mengerti apa artinya kehidupan ini di hadapan Tuhan, karena mamaku telah meninggal pada saat usiaku sangat muda. Dan kini kau ingin mengirimnya ke neraka keluargamu?"

"Mungkin terasa seperti surga, suatu saat nanti."

"Kau pasti kehilangan akalmu, kan?"

Eleatha tanpa berpikir panjang, ia mengambil keputusan impulsif. Ia bangkit berdiri dan meraup wajahnya sendiri sebelum mencari ponselnya, yang entah ia letakkan dimana. Ketika ia menemukannya, Eleatha dengan cepat menekan nomor telepon Gianna--koordinator untuk acara pernikahannya, dan tanpa berbasa-basi ia mengucapkan kalimat itu. "Gianna, I want to call off the wedding."

"Hah? Mengapa?" tanya suara Gianna yang terlihat sangat bingung ketika melirik jam dindingnya. "Apa kau serius? Tujuh hari lagi kau akan menikah, apa alasanmu membatalkan pernikahanmu?"

"Aku punya banyak alasan..."

"Apa kau tahu jam berapa ini, Mrs. Parskel?"

"Namaku Eleatha Zheverry. Stop calling me Mrs. Parskel from now on. The wedding is off from the schedule."

______________________________

New Zealand,
five days before the wedding

"Elle, keluargaku bahkan tidak memiliki nursing house." Bukan hanya Layton yang kebingungan dengan arah pembicaraan mereka; Eleatha juga merasakan hal yang sama. "Apa kau bermimpi lagi?"

Apakah aku sedang bermimpi lagi? tanya Eleatha pada dirinya sendiri. Apakah aku sedang menjalani ketidaknyataan di dalam relasiku dengan Layton?

Eleatha memegangi kepalanya yang kini terasa berputar. Ketakutannya akan kehilangan keluarganya terus menerus menghantuinya. Eleanor Parskel, mama Eleatha pergi meninggalkannya ketika ia masih sangat muda. Lalu kenyataan ia akan menikah dalam waktu dekat...

"Aku tidak bisa," gumamnya dengan penuh ketakutan. Pupilnya menegas ketika menatap mata Layton yang berwarna biru terang seperti samudera. "Aku..."

"Elle, hei." Amarah Layton kini tergantikan oleh belas kasihan. Ia menaruh lengannya pada tubuh Eleatha; mendekapnya dengan kelembutan. "It's okay. Everything is going to be okay, Elle. Kekhawatiranmu tidak akan terjadi. Your papa will live in our house, very soon."

Eleatha menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak, tidak. Siapakah yang bisa aku percayai? Kau mengatakannya..."

"You live in a dream, Elle."

"No. You lied, right?"

Layton yang kini menggelengkan kepalanya dengan sepenuh hati. "Aku tidak sedang berbohong kepadamu, Eleatha Bernadett Parskel." Ia memeluk Eleatha dengan lebih erat. "I'm right here. Aku berada di sisimu, sekarang, besok, sepuluh tahun lagi, dan sampai maut memisahkan kita." Ia melayangkan satu kecupan panjang di pipi kanan Eleatha. "Marry me, Elle," ujarnya satu kali lagi, menunjukkan ketulusan hatinya.

Layton Parskel adalah orang yang tidak pernah memohon seumur hidupnya. Ia selalu marah dengan hal yang terjadi dalam kehidupannya, akan tetapi kini ia memohon wanita itu untuk tinggal dan tetap menikahinya.

Tapi wanita itu tidak pernah siap untuk melangkah pergi. Katanya, "What if I lose my papa when I choose you for tomorrow?" Sekali lagi ketakutannya berbicara. "Aku tidak akan pernah bisa hidup tanpa papaku, walau aku bersama dengan dirimu sepuluh tahun lagi." Eleatha Bernadett Zheverry tidak pernah membayangkan melepaskan nama papanya dan menggantinya dengan nama pria lain. "Bagaimana jika aku kehilangan dirinya?" Eleatha meneruskan tangisannya di dalam pelukan Layton. Untuk kali terakhir ia mendongak dan menatap mata biru yang sangat indah itu dan dengan jelas ia berkata, "I'd rather lose you than losing my papa. He's my life."

______________________________

Adakah orang lain yang melakukan hal seperti ini? Mempertanyakan arti hidupnya sendiri? Atau hanya aku saja? Karena hidupku seakan bercampur antara hidup dalam kenyataan dengan hidup di dalam mimpi-mimpiku.

Aku seperti orang bodoh yang lupa caranya menginjak tanah dan mengambil imajinasiku sebagai sebuah kenyataan. Dan ketika aku menyadarinya, aku masih bisa kembali. Akan tetapi ketakutanku membuatku mengambil keputusan yang menyamankan hatiku. Dan ketika aku ingin mengambil keputusan lainnya, aku sudah terlambat.

Aku dan papaku, kurasa kami adalah dua orang yang ditakdirkan menjadi sepasang papa  dan anak, hidup bersama sampai kami menua tanpa ada yang mengganggu hidup kami. Bahkan Abigael pun tidak.

She's Back!!!

Adakah yang penasaran ke mana perginya Aurelia Chrissy, seorang penulis muda yang gemar menuliskan karya-karyanya, yang sempat menghilang dari dunia kepenulisan?
Setelah menerbitkan novel pertamanya, ia berfokus kepada novel keduanya. Namun kali ini ia memutuskan untuk fokus kepada novelnya yang akan dipublikasikan secara online, sehingga banyak orang bisa membaca karyanya tanpa harus dipatok oleh harga yang tinggi.

Aurelia Chrissy yang kembali ke dunia kepenulisan, ia telah aktif di dalam platform Wattpadnya: @aureliachrissy13
Dan ia akan kembali mengisi karya-karyanya di dalam website ini, sehingga kalian dapat membaca karya-karyanya dengan mudah. Dan tentu saja, karena ia kembali setelah sekian tahun, kini cara menulisnya sudah sangat berbeda dengan kali pertama ia menuliskan karyanya di dalam website ini. Ia banyak menempuh pembelajaran dan banyak berimprovisasi dengan harapan bahwa kalian dapat menikmati novel maupun cerpen yang ia buat.

Selamat Membaca!