Selasa, 26 Februari 2019

Lost for Work

            “Catch me!” ujarnya lantang.
            Brina. Wisyenna Brina. Seorang gadis dengan paras cantik dan menawan. Hidung mancungnya mendesak bahagia, membutakan setiap mata yang menatap. Tawanya seakan ‘tak tulus, tapi hatinya begitu murni dalam setiap gerak-gerik. Saat kedua kelopak matanya menutup, selalu ada kesan untuk jatuh dan terluka. Seakan dibalik sana terdapat air mata yang siap untuk menetes. Suaranya lembut nan merdu, menggelisahkan setiap dada yang menerima getaran ‘tak asing darinya.
            Hey, careful, Baby,” seru seorang lelaki yang berada ‘tak jauh dari Brina.
            Nathan. Nathaniel Vernandiano. Seorang lelaki dengan tatapan tajamnya. Ketika kedua mata itu memandang, ribuan wanita jatuh tanpa berpikir. Lipatan manis pada pipi kirinya membuat orang gelisah. Senyumannya terlalu menyakitkan, hingga hanya satu dari sekian banyak wanita yang akan kembali mengambil duri luka itu. Suaranya tegas, penuh wibawa dan cinta. Menekuk rasa yang terpendam hanya untuk satu nama.
            “Hazel, hazel, hazel!” jerit Brina sambil berlari menjauhi Nathan.
            Brug!
            “Oh, sorry,” ucap seorang lelaki yang ‘tak sengaja menghantam Brina hingga jatuh tersungkur.
            Nathan yang mendengar lelaki itu segera membuka penutup matanya dan berlari menghampiri Brina. Brina sudah setengah berdiri dibantu oleh lelaki asing itu ketika Nathan berhasil berdiri dibelakang Brina. Tatapan khawatirnya menjelajah ringan dari atas tubuh Brina hingga bawah guna mencari luka, memar atau semacamnya.
            “Maafkan kecerobohan temanku ini,” kata Nathan sambil mengulurkan tangan.
            Lelaki asing itu menjabat tangan Nathan dengan senyum yang dibingkai kata, “Santai.” Kedua lelaki itu saling melepaskan ikatan satu sama lain lalu sang lelaki asing beranjak pergi meninggalkan mereka.
            “Teman?” ketus Brina.
            “Lain kali aku tidak akan memintakan maaf atas namamu lagi. Paham?” ucap Nathan serius sembari membersihkan kotoran pada kedua lutut Brina. Brina hanya mengangguk ringan sambil memasang raut menyesal. “Sudah aku peringatkan untuk berhati-hati. Masih saja teledor?”
            Tinju kecil melayang pada dada bidang Nathan. Lelaki itu meringis kecil-kecilan hanya untuk menyenangkan gadisnya, sedangkan Brina semakin cemberut mendapati reaksi berlebihan Nathan. Ia memutarkan tubuhnya dan berjalan cepat menuju tempat duduk mereka yang semula. Namun langkah Nathan jauh lebih gesit dibandingkan gadis itu, menarik tubuh Brina erat dalam dekapannya; membawa gadis itu pada kedua lengannya. Ya, sebuah gendongan singkat. Cukup untuk mengembalikan kegembiraan pada raut wajah Brina.
            I love you,” bisik Brina.
            Wrong! Bukan itu kata yang tepat untuk diucapkan,” jawab Nathan cepat.
            “Lantas? Kau sendiri yang mengatakan tidak boleh ada satupun rahasia jika menyangkut masalah hati. Jadi sesuai maumu, kukatakan apa yang sekiranya diteriakkan batinku.”
            Nathan menatap mata samudra milik Brina, tajam, dan begitu menyengat. Ia mendekatkan jarak mata diantara mereka, menyisakan deru napas yang sangat melekat antara satu sama lain. Senyum Brina terlihat kaku, gemetar, ‘tak yakin. Nathan menyentuhkan hidungnya dengan hidung Brina. Menggesekkannya berulang-ulang. Membingkai senyum sesudahnya. Bahagia tidak hanya menguasai, namun menghantui. Membuka celah untuk rasa bersalah masuk dalam sela hati Nathan.
            “Kau ini milik orang, ingat?” desah Nathan penuh rasa sesal.
            Brina menatap mata hazel itu. Membiarkan luka milik lelaki itu dibagikan seutuhnya padanya. Brina mengeratkan pelukannya, menjatuhkan air mata tepat pada dada Nathan. “Bawa saja aku. Dia ‘tak cukup membahagiakan aku. “
            Langkah Nathan terhenti tepat pada bangku mereka yang semula. Ia mendudukkan Brina dengan gerakan yang sangat lembut, seakan luka sewaktu-waktu bisa merenggut gadis itu darinya. Ia menghapuskan air mata itu dengan tangan kirinya. Memegang dagu Brina lembut, lalu duduk menawarkan kenyamanan pada Brina. Brina bersandar manja, memeluk lengan kiri Nathan. Sembari menerawang akan masa depan yang mereka impikan, hanya terhalang oleh seorang lelaki—yang menurut Brina—sebatas beban.
            “Pernah dengar perumpamaan bahwa cinta ‘tak harus memiliki?” ucap Nathan tiba-tiba.
            Brina mengangguk perlahan. Air matanya kembali menetes. “Biarkan aku bahagia. Dino bukan orang yang aku ingin untuk berbagi kebahagiaan.”
            “Cinta ‘tak harus memiliki, Brina.” Nathan menatap Brina serius, mendesak pahit keluar dari batin Brina. Ia ‘tak mengerti sejauh mana harus pergi, ia ‘takkan sanggup.
            Udara terasa berjalan lebih lambat, membuat segala tekanan menjadi berat dan seakan jantung ‘tak memompa darah dengan baik. Brina sesak, begitupun Nathan. Namun sebuah kebenaran harus ditegakkan. ‘Tak bisa mereka hanya hidup dalam kebahagiaan fana yang mereka ciptakan dengan cara melukai hati lain. Sesuatu harus diputuskan. Sesuatu yang egois.
            “Jika cinta ‘tak harus saling memiliki, apakah kebahagiaan juga ‘tak harus dimiliki?” desah Brina sambil sesenggukan. “Mengapa setiap kita bertukar kebahagiaan, harus berakhir dengan air mata? Mengapa kau begitu egois? Mengatakan kebahagiaan ini harus berakhir namun kau sendiri ‘tak pernah benar-benar pergi dari hadapanku?”
            Nathan mengecup puncak kepala Brina dalam hitungan detik yang cukup lama. Ia menahan tangis, menukar posisi nyaman Brina menjadi nyaman milik mereka berdua. Ia melingkarkan lengannya untuk menopang punggung Brina, sehingga gadis itu dapat bersandar lebih leluasa pada dada bidangnya. Ia menerobos pandangan dari kerumunan, memejamkan mata sesaat, lantas mengecup puncak kepala Brina sekali lagi.
            “Ingat terakhir kali aku menghilang dari pandanganmu walau hanya selama 2 hari? Ingat perjuangan kata apa yang harus kau dan aku jelaskan pada Dino?” tanya Nathan. Brina mengangguk setuju atas kebodohannya. “Kau hampir mengakhiri hidupmu sendiri sebab merasa aku ‘tak menginginkan dirimu. Kau pikir Dino ‘tak cemas pada keadaanmu? Kau pikir wajar ketika tragedi yang kau ciptakan waktu itu ‘tak ada hubungannya sama sekali dengan Dino? Kau pikir apa arti perjuangannya selama ini? Untukmu?”
            “Sia-sia,” sesak Brina. Ia meneteskan air matanya, lagi. Membuat ia lelah dengan setiap perkara dalam kisah asmara ini.
            “Itulah mengapa aku ‘tak pernah benar-benar pergi,” kata Nathan lembut, dan begitu dalam. Ia menarik Brina semakin erat dalam pelukannya. Mengukir luka sekali lagi. Membuat setiap yang menatap pasangan itu, mati.
            “Cepat atau lambat, Na. Kau harus menjelaskan kebodohan kita selama ini. Cepat atau lambat, kau harus kembali padanya dan mengukir kisah baru tanpa melibatkan aku. Cepat atau lambat, Dino harus tahu bahwa diantara kita hanyalah sebuah dosa.”
            Brina mendongak, menemukan titik lemahnya sendiri. Tatapan Nathan semakin nyata dibenaknya, semakin serius dan melukakan. Semakin menggemakan dada dan membuat jatuh kemudian patah, beribu-ribu kali lipat dari sebelumnya. Ia membuang tatapannya jatuh sejatuh-jatuhnya ke tanah, membuat kepalanya terantuk lemah dan mendapati seorang lelaki berdiri dengan tegap berjalan menjauh dari tempat sandarannya.
            Jalan lelaki itu tergesa, letih, lemas, kehilangan arah. Seakan tanah bukan lagi tempatnya berpijak. Semakin Brina menatap, semakin cepat langkah lelaki itu. Semakin khawatir menjelajah hati Brina, semakin keras dentuman yang terngiang tepat ditelinganya seiring tergeletaknya sebuah tubuh tanpa pengampunan.
            Langkah Brina berat, namun harus. Ia berlari sekuat tenaga berusaha mencapai kerumunan orang. Banyak orang berteriak panik, banyak pula yang menyaksikan, banyak pula yang menghadang pandangannya. Brina menerobos masuk, lututnya tersungkur dan hatinya seakan tertusuk banyak pisau. Teriakannya membuat banyak orang menarik tubuhnya menjauh dari tubuh yang tergeletak bermandikan darah. Brina hanya mampu meronta, menyesal. Kebodohan yang selalu ia ulangi. Lagi dan lagi.
            Sepasang mata terbuka, tepat disaat Brina sedang berdoa. Ini menjadi tragedi 2 minggu yang menyesakkan. Dino lemah, tiada kabar cinta dari Nathan. Sejenak Brina takut, ia harus menutup kenangan dosa yang ia dan Nathan ciptakan. Tatapan Brina ‘tak sanggup dilontarkan bagi Dino. Terlalu banyak luka yang ia sajikan. Memohon maaf pun rasanya ia ‘tak pantas.
            Tangan lelaki itu mengusap air mata Brina, membuat gadis itu terkesiap bahagia dan langsung memeluk lelaki itu. “Maafkan aku. Seharusnya bukan begini cara menjelaskan keadaan yang selalu salah di mata dunia. Maafkan aku.”
            Tangisan Brina mereda setelah lelaki itu terduduk dan mendekap tubuhnya. “Sayang, sudahlah. Seharusnya aku yang mengerti akan keadaanmu. Seharusnya kebahagiaan yang kudengar, bukan keegoisan. Maaf.”
            “Dino,” bisik Brina. Gadis itu mendongak, menemukan kedua mata yang ‘tak asing bagi dirinya. “Mata itu...”
            Lelaki itu mendekapnya dengan lebih kencang. Mengecupkan puncak kepala Brina selembut Nathan yang melakukannya. “Mengapa kau mengejarku? Mengapa kau memilih mencapaiku dibanding menyadari Nathan tergeletak lelah disampingmu?”
            “Aku ‘tak paham,” ujar Brina lemah.
            Dino membingkai senyum terbaiknya, ia terisak, namun sadar jika ada yang lebih terluka dibandingkan dirinya sendiri. “Biarkan kedua mata ini yang menjelaskan padamu suatu hari nanti,” ujarnya sembari mengeluarkan amplop merah muda. “Mungkin bukan dia jodohmu, Na. Mungkin juga bukan aku. Tapi Nathan ingin kau mengerti, sejauh apapun kalian dipisahkan, ia akan tetap ada untuk menghapus air matamu. Mengecupmu. Dan menjadi salah satu kebahagiaanmu. Maaf jika itu harus menjadi aku yang menggantikan posisinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar