“Catch me!” ujarnya lantang.
Brina. Wisyenna Brina. Seorang gadis dengan paras cantik
dan menawan. Hidung mancungnya mendesak bahagia, membutakan setiap mata yang
menatap. Tawanya seakan ‘tak tulus, tapi hatinya begitu murni dalam setiap
gerak-gerik. Saat kedua kelopak matanya menutup, selalu ada kesan untuk jatuh
dan terluka. Seakan dibalik sana terdapat air mata yang siap untuk menetes.
Suaranya lembut nan merdu, menggelisahkan setiap dada yang menerima getaran ‘tak
asing darinya.
“Hey, careful,
Baby,” seru seorang lelaki yang berada ‘tak jauh dari Brina.
Nathan. Nathaniel Vernandiano. Seorang lelaki dengan
tatapan tajamnya. Ketika kedua mata itu memandang, ribuan wanita jatuh tanpa
berpikir. Lipatan manis pada pipi kirinya membuat orang gelisah. Senyumannya
terlalu menyakitkan, hingga hanya satu dari sekian banyak wanita yang akan
kembali mengambil duri luka itu. Suaranya tegas, penuh wibawa dan cinta.
Menekuk rasa yang terpendam hanya untuk satu nama.
“Hazel, hazel, hazel!” jerit Brina sambil berlari
menjauhi Nathan.
Brug!
“Oh, sorry,” ucap seorang lelaki yang ‘tak
sengaja menghantam Brina hingga jatuh tersungkur.
Nathan
yang mendengar lelaki itu segera membuka penutup matanya dan berlari
menghampiri Brina. Brina sudah setengah berdiri dibantu oleh lelaki asing itu
ketika Nathan berhasil berdiri dibelakang Brina. Tatapan khawatirnya menjelajah
ringan dari atas tubuh Brina hingga bawah guna mencari luka, memar atau
semacamnya.
“Maafkan
kecerobohan temanku ini,” kata Nathan sambil mengulurkan tangan.
Lelaki
asing itu menjabat tangan Nathan dengan senyum yang dibingkai kata, “Santai.”
Kedua lelaki itu saling melepaskan ikatan satu sama lain lalu sang lelaki asing
beranjak pergi meninggalkan mereka.
“Teman?”
ketus Brina.
“Lain kali
aku tidak akan memintakan maaf atas namamu lagi. Paham?” ucap Nathan serius
sembari membersihkan kotoran pada kedua lutut Brina. Brina hanya mengangguk
ringan sambil memasang raut menyesal. “Sudah aku peringatkan untuk berhati-hati.
Masih saja teledor?”
Tinju
kecil melayang pada dada bidang Nathan. Lelaki itu meringis kecil-kecilan hanya
untuk menyenangkan gadisnya, sedangkan Brina semakin cemberut mendapati reaksi
berlebihan Nathan. Ia memutarkan tubuhnya dan berjalan cepat menuju tempat
duduk mereka yang semula. Namun langkah Nathan jauh lebih gesit dibandingkan
gadis itu, menarik tubuh Brina erat dalam dekapannya; membawa gadis itu pada
kedua lengannya. Ya, sebuah gendongan singkat. Cukup untuk mengembalikan
kegembiraan pada raut wajah Brina.
“I love you,” bisik Brina.
“Wrong! Bukan itu kata yang tepat untuk
diucapkan,” jawab Nathan cepat.
“Lantas?
Kau sendiri yang mengatakan tidak boleh ada satupun rahasia jika menyangkut
masalah hati. Jadi sesuai maumu, kukatakan apa yang sekiranya diteriakkan
batinku.”
Nathan
menatap mata samudra milik Brina, tajam, dan begitu menyengat. Ia mendekatkan
jarak mata diantara mereka, menyisakan deru napas yang sangat melekat antara
satu sama lain. Senyum Brina terlihat kaku, gemetar, ‘tak yakin. Nathan
menyentuhkan hidungnya dengan hidung Brina. Menggesekkannya berulang-ulang.
Membingkai senyum sesudahnya. Bahagia tidak hanya menguasai, namun menghantui.
Membuka celah untuk rasa bersalah masuk dalam sela hati Nathan.
“Kau ini
milik orang, ingat?” desah Nathan penuh rasa sesal.
Brina
menatap mata hazel itu. Membiarkan luka milik lelaki itu dibagikan seutuhnya
padanya. Brina mengeratkan pelukannya, menjatuhkan air mata tepat pada dada
Nathan. “Bawa saja aku. Dia ‘tak cukup membahagiakan aku. “
Langkah
Nathan terhenti tepat pada bangku mereka yang semula. Ia mendudukkan Brina
dengan gerakan yang sangat lembut, seakan luka sewaktu-waktu bisa merenggut
gadis itu darinya. Ia menghapuskan air mata itu dengan tangan kirinya. Memegang
dagu Brina lembut, lalu duduk menawarkan kenyamanan pada Brina. Brina bersandar
manja, memeluk lengan kiri Nathan. Sembari menerawang akan masa depan yang
mereka impikan, hanya terhalang oleh seorang lelaki—yang menurut Brina—sebatas
beban.
“Pernah
dengar perumpamaan bahwa cinta ‘tak harus memiliki?” ucap Nathan tiba-tiba.
Brina
mengangguk perlahan. Air matanya kembali menetes. “Biarkan aku bahagia. Dino
bukan orang yang aku ingin untuk berbagi kebahagiaan.”
“Cinta
‘tak harus memiliki, Brina.” Nathan menatap Brina serius, mendesak pahit keluar
dari batin Brina. Ia ‘tak mengerti sejauh mana harus pergi, ia ‘takkan sanggup.
Udara
terasa berjalan lebih lambat, membuat segala tekanan menjadi berat dan seakan
jantung ‘tak memompa darah dengan baik. Brina sesak, begitupun Nathan. Namun
sebuah kebenaran harus ditegakkan. ‘Tak bisa mereka hanya hidup dalam
kebahagiaan fana yang mereka ciptakan dengan cara melukai hati lain. Sesuatu
harus diputuskan. Sesuatu yang egois.
“Jika
cinta ‘tak harus saling memiliki, apakah kebahagiaan juga ‘tak harus dimiliki?”
desah Brina sambil sesenggukan. “Mengapa setiap kita bertukar kebahagiaan,
harus berakhir dengan air mata? Mengapa kau begitu egois? Mengatakan
kebahagiaan ini harus berakhir namun kau sendiri ‘tak pernah benar-benar pergi
dari hadapanku?”
Nathan
mengecup puncak kepala Brina dalam hitungan detik yang cukup lama. Ia menahan
tangis, menukar posisi nyaman Brina menjadi nyaman milik mereka berdua. Ia
melingkarkan lengannya untuk menopang punggung Brina, sehingga gadis itu dapat
bersandar lebih leluasa pada dada bidangnya. Ia menerobos pandangan dari
kerumunan, memejamkan mata sesaat, lantas mengecup puncak kepala Brina sekali
lagi.
“Ingat
terakhir kali aku menghilang dari pandanganmu walau hanya selama 2 hari? Ingat
perjuangan kata apa yang harus kau dan aku jelaskan pada Dino?” tanya Nathan.
Brina mengangguk setuju atas kebodohannya. “Kau hampir mengakhiri hidupmu
sendiri sebab merasa aku ‘tak menginginkan dirimu. Kau pikir Dino ‘tak cemas
pada keadaanmu? Kau pikir wajar ketika tragedi yang kau ciptakan waktu itu ‘tak
ada hubungannya sama sekali dengan Dino? Kau pikir apa arti perjuangannya
selama ini? Untukmu?”
“Sia-sia,”
sesak Brina. Ia meneteskan air matanya, lagi. Membuat ia lelah dengan setiap
perkara dalam kisah asmara ini.
“Itulah
mengapa aku ‘tak pernah benar-benar pergi,” kata Nathan lembut, dan begitu
dalam. Ia menarik Brina semakin erat dalam pelukannya. Mengukir luka sekali
lagi. Membuat setiap yang menatap pasangan itu, mati.
“Cepat
atau lambat, Na. Kau harus menjelaskan kebodohan kita selama ini. Cepat atau
lambat, kau harus kembali padanya dan mengukir kisah baru tanpa melibatkan aku.
Cepat atau lambat, Dino harus tahu bahwa diantara kita hanyalah sebuah dosa.”
Brina
mendongak, menemukan titik lemahnya sendiri. Tatapan Nathan semakin nyata
dibenaknya, semakin serius dan melukakan. Semakin menggemakan dada dan membuat
jatuh kemudian patah, beribu-ribu kali lipat dari sebelumnya. Ia membuang
tatapannya jatuh sejatuh-jatuhnya ke tanah, membuat kepalanya terantuk lemah
dan mendapati seorang lelaki berdiri dengan tegap berjalan menjauh dari tempat
sandarannya.
Jalan
lelaki itu tergesa, letih, lemas, kehilangan arah. Seakan tanah bukan lagi
tempatnya berpijak. Semakin Brina menatap, semakin cepat langkah lelaki itu. Semakin
khawatir menjelajah hati Brina, semakin keras dentuman yang terngiang tepat
ditelinganya seiring tergeletaknya sebuah tubuh tanpa pengampunan.
Langkah
Brina berat, namun harus. Ia berlari sekuat tenaga berusaha mencapai kerumunan
orang. Banyak orang berteriak panik, banyak pula yang menyaksikan, banyak pula
yang menghadang pandangannya. Brina menerobos masuk, lututnya tersungkur dan
hatinya seakan tertusuk banyak pisau. Teriakannya membuat banyak orang menarik
tubuhnya menjauh dari tubuh yang tergeletak bermandikan darah. Brina hanya
mampu meronta, menyesal. Kebodohan yang selalu ia ulangi. Lagi dan lagi.
Sepasang
mata terbuka, tepat disaat Brina sedang berdoa. Ini menjadi tragedi 2 minggu
yang menyesakkan. Dino lemah, tiada kabar cinta dari Nathan. Sejenak Brina
takut, ia harus menutup kenangan dosa yang ia dan Nathan ciptakan. Tatapan
Brina ‘tak sanggup dilontarkan bagi Dino. Terlalu banyak luka yang ia sajikan.
Memohon maaf pun rasanya ia ‘tak pantas.
Tangan
lelaki itu mengusap air mata Brina, membuat gadis itu terkesiap bahagia dan
langsung memeluk lelaki itu. “Maafkan aku. Seharusnya bukan begini cara
menjelaskan keadaan yang selalu salah di mata dunia. Maafkan aku.”
Tangisan
Brina mereda setelah lelaki itu terduduk dan mendekap tubuhnya. “Sayang,
sudahlah. Seharusnya aku yang mengerti akan keadaanmu. Seharusnya kebahagiaan
yang kudengar, bukan keegoisan. Maaf.”
“Dino,”
bisik Brina. Gadis itu mendongak, menemukan kedua mata yang ‘tak asing bagi
dirinya. “Mata itu...”
Lelaki itu
mendekapnya dengan lebih kencang. Mengecupkan puncak kepala Brina selembut
Nathan yang melakukannya. “Mengapa kau mengejarku? Mengapa kau memilih
mencapaiku dibanding menyadari Nathan tergeletak lelah disampingmu?”
“Aku ‘tak
paham,” ujar Brina lemah.
Dino
membingkai senyum terbaiknya, ia terisak, namun sadar jika ada yang lebih
terluka dibandingkan dirinya sendiri. “Biarkan kedua mata ini yang menjelaskan
padamu suatu hari nanti,” ujarnya sembari mengeluarkan amplop merah muda. “Mungkin
bukan dia jodohmu, Na. Mungkin juga bukan aku. Tapi Nathan ingin kau mengerti,
sejauh apapun kalian dipisahkan, ia akan tetap ada untuk menghapus air matamu.
Mengecupmu. Dan menjadi salah satu kebahagiaanmu. Maaf jika itu harus menjadi
aku yang menggantikan posisinya.”